Selasa, Maret 08, 2016

Sang Pelukis Senja

Ingatanku menelusuri kisah tujuh tahun silam. Ketika seorang sahabat, mengenalkanku dengan seorang pelukis wanita bernama Sheilla. Setelah beberapa kali saling berkirim email, lalu bertukar nomor handphone, Sheilla mengajakku bertemu di salah satu mall di Tangerang Selatan.

Saat itu Sheilla membawakan beberapa miniatur lukisan hasil karyanya, yang sebagian besar bertema bunga atau taman yang indah penuh bunga-bunga. Aku tidak begitu mengerti mengenai lukisan, kala itu. Maka ketika ia bercerita tentang aliran dan lain sebagainya, aku mendengarkan sekedarnya. 

Dengan tidak mengindahkan reaksiku yang biasa-biasa saja, Sheilla tiba-tiba mengambil kamera SLRnya, dan mengarahkan lensa ke wajahku. Aku kaget dan reflek menghindar, sambil sedikit marah. Dia kemudian minta maaf. Selanjutnya, ia menunjukkan foto-foto yang ada di kamera itu kepadaku. "Ini beberapa lukisanku yang lain, Wil", seraya merapatkan bahunya padaku dan memperlihatkan foto-foto lukisan lainnya, dan juga foto keluarga besarnya. "Aku dari keluarga baik-baik, Wil. Jadi, kamu tidak perlu merasa khawatir kalau aku akan melakukan hal yang aneh-aneh. Aku sudah mendengar dari Dhea tentang traumamu sama mantan kamu...". Ia menjelaskan tentang keluarganya. Ia tahu aku punya trauma dengan mantanku yang pertama, dari Dhea, teman yang memperkenalkan kami. Aku mengamati jemarinya menekan tombol forward dengan jeda yang pas. Aku merasakan ia merapatkan tubuhnya, dan hal itu membuatku merasa canggung.

Tak lama kemudian, handphone nya berbunyi. "Iya, Sayang... Mama ada di Starbucks sama teman Mama, kamu mau ke sini?", ucapnya penuh kelembutan yang aku duga kepada anaknya. Dan benar, ternyata ia turut membawa kedua putranya ke sini, mereka langsung ke Gramedia, sementara Sheilla menemuiku di Starbucks. Tak lama kemudian, kedua naknya muncul. "Ini teman Mama, Tante Wil. Ayo salim, ya". Setelah sekilas memperkenalkan kami, Sheilla mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, kedua anaknya ingin main Time Zone.

Ia melanjutkan ceritanya, sambil matanya intens menatapku. Jemarinya sesekali menyentuh lembut jemariku. Sorot matanya lembut namun terasa "mengundang". Aku merasa agak kurang nyaman. Tiba-tiba ia meraih ujung jemariku, "Menurutmu aku cantik?" tanyanya. Aku kaget, sungguh pertanyaan yang tiba-tiba dan tak kuduga. Aku menarik perlahan jemariku dari genggamannya. Ia nampak sedikit tersinggung. "Biasa aja", jawabku kemudian. Kini, aku merasa bodoh atas jawabanku kala itu. Sungguh tak beretika. Tapi itulah aku, dulu, di usia 25 tahun, masih sangat hijau dan muda, sementara Sheilla merupakan wanita matang yang usianya hampir 40 tahun.

Kemudian ia menggeser duduknya agak menjaga jarak denganku. "Menurut mantanku, aku cantik", ucapnya kemudian, tanpa senyum. "Ya, mungkin karena dia suka padamu", jawabku santai. "Lalu kamu tidak, Wil?", kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku terdiam. Ini pertama kali kami bertemu. Mana mungkin, kan? Kurasa dia agak terbawa perasaan saja. "Aku baru kenal kamu, Bu...", jawabku sekenanya. "Tapi sebelumnya kita udah sering telponan kan, Wil?". OMG! Lalu? Apakah lantas hal itu bisa membuat seseorang merasa jatuh cinta?, batinku.

Kami lanjut mengobrol dan menjadi agak garing rasanya. Tiba-tiba dia minta maaf, dan bilang kalau Dhea sudah melakukan kesalahan karena memperkenalkan kami yang usianya terpaut jauh. "Walaupun kamu seorang Ibu, tapi masih sangat muda, Wil. Padahal aku bisa mengajarkanmu banyak hal tentang menjadi seorang ibu. Tapi sudahlah, kamu melihatku mungkin tak sesuai harapan", ucapnya. "Bukan, aku pikir kita bisa berteman dulu...", jawabku. "Tidak. Aku mau lebih dari itu. Aku suka kamu, Wil. Sebenarnya kamu dewasa, lucu, menyenangkan. Tapi setelah bertemu aku, sikapmu dingin. Pasti ada yang salah denganku", ia mulai mellow. Lalu ia mulai meracau. Aku merasa tersudutkan. Ini sungguh gila. Ia terlalu cepat menilaiku, dan bahkan memutuskan untuk menyukaiku. Sementara kami belum lama kenal.

Sebelum berpamitan, ia mengeluarkan sebuah kotak manis berwarna pink dengan pita biru muda, "Ini untuk your lil' angel, yang awalnya kukira bisa jadi my lil' angel, too, karena anakku dua-duanya jagoan, ternyata...", ia menghela nafas, lalu menggeleng. Ada rasa bersalah berdesir di dadaku, melihat tatap kecewanya. Aku menolak kotak itu, dan dia bilang sama saja aku menghempaskan hatinya ke dasar jurang paling dalam. Lalu aku menerimanya.

Ia menelpon anak-anaknya, kemudian mereka berpamitan. Aku sempat terdiam di sana cukup lama setelah mereka berlalu dari hadapanku, merenung sejenak. Drama gila macam apa yang baru saja terjadi?, batinku. Tiba-tiba aku merasa sangat jahat, dan sangat bersalah padanya. Kemudian aku pulang. 

Keesokan paginya, aku menerima email dari Sheilla. Isinya permintaan maaf. Katanya, ia tak kuasa menerima penolakanku yang terlalu dini dan tanpa basa-basi, sehingga membuatnya menjadi emosi. Ia ingin menemuiku sekali lagi. Katanya, ia janji akan lebih tenang menghadapiku. "Aku berbincang dengan Dhea seusai aku menemui, Wil, dan Dhea menyayangkan sikapku yang terlalu impulsif kepadamu. Menurut Dhea, kamu harus dihadapi dengan ketenangan, bukan seperti yang aku lakukan kemarin terhadapmu. Beri aku kesempatan sekali lagi, Wil, untuk menemuimu". Aku terdiam. Kubaca berkali-kali email itu dengan perasaan yang silih berganti. Kenapa dia yang minta maaf? Yang benar saja. Sudah jelas aku yang salah. Aku sangat salah.

Kemudian dia menelpon, karena aku tak kunjung membalas emailnya. "Kamu dimana, Wil? Aku akan jemput kamu ke kantor, lalu nanti aku antar pulang, oke? Please, beri aku kesempatan...", suaranya parau dan terdengar putus asa. Kurasa ia tidak dalam mood yang bagus untuk diajak bicara saat ini, menurutku. Aku merasa ada yang salah di sini. Aku yang sudah sedemikian angkuhnya, kenapa dia yang minta maaf dan minta diberi kesempatan olehku, dan bukankah semestinya sebaliknya? "Aku akan balas email kamu, Bu. Ini juga sedang nulis. Kamu tenangkan diri, ya. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu", hiburku dengan suara lembut.

Setelah ia menutup teleponnya, aku membalas email, kusampaikan bahwa aku tidak akan menemuinya lagi, dan terima kasih atas segala kebaikannya. Aku minta maaf atas segala keangkuhanku, dan bahwa aku sesungguhnya hanya ingin berteman saja. Jika ia menginginkan lebih dari itu, butuh proses beberapa waktu ke depan lagi, tentunya. Dan hal semacam itu semestinya mengalir murni seiring waktu.

Dia tidak lagi membalas emailku itu. Namun hujanan smsnya hingga puluhan ke handphoneku. Ia tak memaki aku, namun memaki dirinya sendiri yang terlalu cepat terbawa perasaan hanya karena sikapku yang hangat. Ia sempat bilang, "Bodohnya aku mengira bahwa kamu mungkin bisa jatuh cinta kepadaku". Hujanan kata-katanya yang bertubu-tubi dalam sms-sms itu membuat kepalaku terasa berputar sangat cepat. Aku memutuskan untuk mengganti nomor handphone, dan semua berakhir begitu saja, tak ada komunikasi lagi dengan Sheilla. Seiring waktu, otakku terus berusaha mencerna hikmah dari kejadian ini. Namun hal itu tak berlangsung terlalu lama, setelah aku bertemu dengan yang lain, tentunya. Aku melupakan Sheilla.

Tujuh tahun berlalu. Sudah begitu banyak hal terjadi padaku, dan juga wanita yang datang dan pergi di hidupku, masing-masing meninggalkan pembelajarannya tersendiri. Tiba-tiba aku teringat Sheilla. Ada rasa bersalah yang masih tertinggal di sanubari, saat mengingatnya. Ya, aku ingin minta maaf, atas sikap aroganku padanya, dulu, ketika aku masih sangat muda dan bodoh. Namun tak ada sepenggal jejakpun tentangnya. Aku mencarinya dengan caraku. Membuka semua situs yang berkaitan dengan pelukis wanita Indonesia, satu-satunya hal yang begitu melekat tentangnya, namun hasilnya nihil, karena aku bahkan tak tahu nama aslinya, Sheilla hanya nama alter. Huft.

Aku hampir frustasi. Lalu aku teringat Dhea, teman yang memperkenalkan kami. Aku punya facebook real Dhea, namun untuk bertanya padanya, aku sungkan. Kutelusuri friendlist Dhea yang jumlahnya ribuan orang. Maklum, ia salah satu orang penting di negeri ini. Aku sempat enggan, karena sudah pasti ini akan menghabiskan banyak waktu. Akhirnya kubulatkan tekad. Nawaitu. Di tengah pencarian, aku kewalahan, karena untuk abjad "A" saja rasanya ngga kelar-kelar, dan tiba-tiba paket dataku habis. Damn! 

Setelah mengisi ulang paket data, aku kembali menelusuri. Semua perempuan keibuan yang nampak di sana, aku klik. Kepalaku pening beneran. Bagai mencari sebuah jarum di tumpukan jerami. Namun usahaku ternyata membuahkan hasil yang bahkan tak kuduga. Aku menemukannya! Aku memastikan berkali-kali bahwa itu dia. Sang Pelukis Senja, aku menyebutnya. Thanks to Allah, facebook nya tidak di protect. Aku bolak-balik album fotonya. Ah, aku mengenali wajah kedua anak laki-lakinya, yang kini sudah beranjak remaja.

Lama aku meng-klak-klik profilnya sampai jariku kaku. Berkali-kali aku ingin menekan tombol "Add as friend", namun kuurungkan lagi dan lagi, hingga akhirnya kutekan KLIK!

Damn! What a ....?! Aku mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri. Dan hal itu sudah tidak dapat ku-undo. Rasanya kemungkinan kecil dia akan mengenaliku lagi, setelah tujuh tahun berlalu. Apalagi penampilanku sudah banyak berubah. Dia pasti tidak mengenaliku, batinku. Setiap satu menit kulirik gadget menanti Accepted darinya. Baru satu setengah hari berlalu, aku sudah tidak sabaran. Kubuka kembali profilnya belasan kali hingga wajahnya begitu melekat di kepala. Aku tergoda untuk mengirim pesan. Setelah sejuta keraguan, akhirnya aku meng-klik tombol "Message". Kurasa aku terlalu nekat, dan agak sedikit "gila"! 

"Assalamualaikum, Bu. Mohon berkenan untuk menerima permintaan pertemanan saya. Sudah lama saya mencari Ibu. Wassalamualaikum." SENT! 


~ Wil Twilite ~

Tidak ada komentar: