Kamis, Februari 16, 2017

Pilkada Serentak, Pilihan, dan Hubungan Pertemanan


TAHUN 2017 adalah tahun ayam api. Ayamnya, yasudahlah tidak usah dibahas. Apinya itu, lho! Panas membara dan membakar. Itulah yang saya lihat, begitu maraknya perseteruan di sosial media terkait penyelenggaraan pilkada serentak di tahun ini, tepatnya tanggal 15 Februari 2017Tiba-tiba semua orang bicara politik, meski sebagian besar hanya beropini dari sudut pandang personal. Dan semua orang tiba-tiba jadi ahli agama, terkait dugaan penistaan agama oleh salah satu Cagub yang ngga usahlah saya sebutkan namanya di sini, tapi semua orang tahu, dan sejarah telah mencatat.

Kutipan Al-Qur’an surat Al-Kafirun ayat ke-6 pun menjadi populer, “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”. Keyakinan pun dicampuradukkan dengan perpolitikan, dari segi sudut pandang. Perang pendapat pun tak terelakkan di sosial media yang begitu bebas untuk menyalurkan pendapat dan ekspresi personal, maupun kelompok. Semua orang membela habis-habisan pilihannya, mengagungkan, membenarkan, hingga mendewakan.

Bicara tentang pilihan... Pilihan itu pada dasarnya merupakan tanggung jawab individu, dalam hal memilih apa saja. Pilih makanan, misalnya. Orang yang suka mengkonsumsi makanan sehat dan yang suka mengkonsumsi junk food, tentunya akan berbeda dampak terhadap sistem metabolisme tubuhnya. Pilihan gaya hidup, misalnya. Tampil sederhana dan tampil glamour atau mengikuti trend kekinian, tentunya akan berdampak pada life cost. Hingga untuk memilih pasangan hidup, misalnya ada 2 pilihan di hadapan, maka akan berbeda kelak kelanjutan hidupmu bersama salah satu yang harus kamu pilih. Pada dasarnya, semua perlu pertimbangan yang matang, namun terkadang faktor eksternal juga mempengaruhi pilihan-pilihan kita. Apapun alasan yang mendasari pilihanmu, dan apa yang akan terjadi kemudian, all that matter is your self-responsibility to your own choice, not to all of people's choice which are different with yours. Karena menurut saya, pilihan itu sifatnya sangat personal.

Waktu Pilpres tahun 2014 yang lalu, misalnya. Saya memilih Capres yang pada akhirnya tidak menang pemilu. Seiring berjalannya waktu, saya merasa kecewa dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh presiden terpilih. Mau bagaimana, toh dulu saya memang tidak memilih dia. Intinya, ketika yang menang itu bukan pilihan kita, kemudian mengecewakan. Tetaplah bersyukur karena kita memang tidak berkontribusi memberi suara untuk dia. Hal ini akan membuat kita merasa lebih baik. It’s all about state of mind. Calm your mind, then your heart will be safe. Kata dokter, semua penyakit bermula dari pikiran kita sendiri. Being positive in a negative situation is not naive. It’s leadership. This! Be a leader to yourself first.

Saya masih menyayangkan euphoria perang status di sosial media yang berdampak merenggangkan bahkan memutus hubungan pertemanan, sampai membuat sebagian orang mengeleminasi “daftar pertemanan” atau friendlist mereka. Demokrasi dan kebebasan berpendapat yang kebablasan pada akhirnya membuat suhu politik di negeri ini menjadi panas. Pertemanan yang sifatnya personal pun terkena dampak idealisme dan fanatisme segelintir orang/kelompok yang begitu mendewakan pilihannya. Namun di sisi lain, ada pelajaran yang saya dapat, bahwa semakin bertambah usia, maka kita akan semakin mengenali teman-teman kita yang sejati. Pada akhirnya semua kembali kepada diri kita masing-masing, TEMAN seperti apa yang kita butuhkan untuk berada di sekeliling kita, melewati tahapan-tahapan kehidupan selanjutnya?

~ Wil Twilite ~