Selasa, September 01, 2015

My Sensitivity

Prologue: 

Aku merasa amaze sendiri ketika mebuka-buka kembali file-file lama dari blog aku yang terdahulu. Yang sudah lama terhapus waktu. Adalah masa ketika aku mulai belajar menulis. Dan aku berniat untuk mempostingnya kembali di sini. 

MY SENSITIVITY

Sensitif merupakan salah satu sifatku yang mendasar. Aku sudah merasakannya tertanam dalam diriku sejak aku masih kanak-kanak. Aku merupakan pribadi yang mudah terbawa perasaan, mudah terbawa suasana. Mungkin hal ini disebabkan oleh karena aku tidak mendapatkan cukup curahan kasih sayang dari kedua orangtuaku, sehingga aku terlalu takut menerima perlakuan buruk dari orang lain di luar lingkup keluargaku.

Seorang sahabat pernah memberi penilaian tentang sifatku ini, "Kamu orang yang terlalu tenang, saking tenangnya, kamu cenderung menghindari konflik dan masalah. Kamu lebih memilih mengalah daripada harus menjadi musuh orang lain, atau lebih baik untuk tidak terlalu dekat dengan siapapun daripada kelak orang itu hanya akan melukai hatimu".

Aku tidak akan pernah lupa kata-kata ini, selalu kuingat, karena sahabatku ini seperti mampu menyelami alam pikiranku, dan bukan hanya itu, ia juga mampu menyelami kedalaman hatiku. Ia pun pernah bilang, "Whatever you do, you have to deal with it. Jangan pernah lari dari masalah yang kamu sebabkan, yang terjadi karena kamu punya andil di dalamnya". Ya, dia benar sekali, terkadang aku hanyalah seorang pengecut yang selalu ingin lari dari tempat dimana seharusnya aku berada.

Sensitif, sulit sekali untuk berubah menjadi cuek, atau masa bodoh, atau tidak pedulian, atau 'masuk telinga kiri, keluar telinga kanan', atau apapun istilah lainnya. Setiap perkataan orang lain yang menyakitkan, pasti kumasukkan ke dalam hati, sehingga hatiku sulit untuk memaafkan orang tersebut sampai kapan pun, sekalipun waktu mungkin telah mengubah semuanya.

Di sisi lain, sebenarnya aku bukan tipe pendendam juga, mungkin aku akan sakit hati untuk beberapa lama, namun bila keadaan terasa sudah semakin membaik, insya Allah perasaan hatiku perlahan akan ikut membaik, dan aku sudah bisa bersikap netral kembali terhadap orang yang telah menyakitiku, walau sesudahnya aku akan lebih menjaga jarak. Sebab, luka bisa saja disembuhkan, namun bekasnya 'kan tetap ada.

Bukan inginku menjadi orang yang sensitif begini, memang sudah dari sananya. Yang penting bagiku, masih ada sahabat-sahabat di sekelilingku yang berkenan untuk memahami dan menerima sifatku yang satu ini. Dan aku bukannya merasa bangga dengan sensitivitasku yang tinggi, aku hanya ingin dimengerti, oleh siapa pun yang kiranya mampu menyelami tulisanku ini.

August 11th, 2008
Wil Twilite