Senin, Mei 29, 2017

#Rindu : Memiliki, Kehilangan, dan Melupakan



Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki?
Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.

Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan?
Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan,
dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.

Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta?
Ketika kami menangis,
terluka atas perasaan yang seharusnya indah?
Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati
atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?

Wahai laut yang gelap,
bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan?
Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu?
Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.


#Rindu
Tere Liye

#Rindu : Munafik?

Lihatlah kemari wahai gelap malam.
Lihatlah seorang yang selalu pandai
menjawab pertanyaan orang lain,
tapi dia tidak pernah bisa menjawab
pertanyaannya sendiri.

Lihatlah kemari wahai lautan luas.
Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak
untuk orang lain,
tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri.

Sungguh boleh jadi dialah
orang paling munafik di kapal ini.



#Rindu
Tere Liye


#Rindu : Cinta Sejati


Kau pemuda malang yang terpagut harapan, terjerat keinginan memiliki, dan terperangkap kehilangan seseorang yang kau sayangi, Nak. Tiga hal itu ada di dirimu sekarang. Harapan itu belum padam, sejauh apa pun kau pergi. Pun keinginan memiliki itu belum punah, sekuat apa pun kau mengenyahkannya. Dan terakhir, kehilangan itu justru mulai mewujud dan nyata. Setiap hari, semakin nampak wujudnya, semakin nyata kehilangannya.

Apakah cinta sejati itu? Cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbaik yang tidak pernah dipahami para pecinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.

Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.

Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Kau siap menghadapi kenyataan apa pun. Jikapun kau akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang lebih baik.


#Rindu
Tere Liye

#Rindu : Tentang Masa Lalu dan Penilaian Orang

Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.

-----------------------------------------------------

Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.

Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita sebaik itu.


#Rindu
Tere Liye

Minggu, Mei 28, 2017

#Rindu by Tere Liye; My Review

Mengawali Ramadhan yang penuh rahmat, ternyata aku tidak salah memilih novel #Rindu sebagai bahan bacaan. Sudah lama aku membelinya, namun novel ini baru mendapatkan gilirannya untuk kubaca, tepat di awal bulan penuh rahmat.

Ada banyak hal tak terduga di dalamnya. Begitu banyak pesan yang menyentuh sanubari. Kisah yang bersetting tahun 1938 di atas kapal bernama Blitar Holland, mengajarkan begitu banyak tentang makna kehidupan. Tere Liye mengajak kita menelusuri sejarah bangsa sebelum kemerdekaan, menelusuri Makassar, Surabaya, Semarang, Batavia (Jakarta), Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, hingga Kolombo (Sri Lanka). perjalanan panjang sebuah kapal haji sebelum tujuan akhir yaitu Jeddah, Arab Saudi.

#Rindu di sini pun bukanlah rindu pada kampung halaman, orangtua, keluarga, atau kekasih, melainkan rindu yang lebih besar dari semua itu, yaitu rindu pada Rumah Allah, kota suci umat Islam.

Ada banyak konflik batin yang mendera para pemeran utama dalam kisah ini. Diantaranya Daeng Andipati, seorang pedagang besar dari Kota Makassar. Pria muda yang kaya raya, berpendidikan tinggi, memiliki kehidupan yang nyaris sempurna. Ia ditemani istri dan dua putrinya, Elsa dan Anna (pas baca kedua nama ini tiba-tiba aku ingat film Frozen, ups!). Dibalik segala kesempurnaan itu, ternyata ia menyimpan kisah kelam.

Anna, putri bungsu Daeng Andipati bisa dibilang tokoh utama dalam kisah ini karena ia ada dimanapun dalam cerita ini. Gadis kecil usia 9 tahun ini memiliki karakter periang, penuh rasa ingin tahu, sangat peduli pada orang lain dan sekelilingnya, lugu, namun cerdas. Mengingatkanku pada lil' angel, puteriku.

Ada Ambo Uleng sang pelaut dari Makassar yang mengikuti pelayaran untuk melarikan diri sejauh mungkin dari kenyataan pahit yang baru saja dialaminya. Pemuda biasa saja, sederhana, pendiam, tidak berpendidikan, namun banyak pengalaman di lautan, dan penuh kejutan dalam kisah ini darinya.

Dan sang ulama termasyur, Gurutta Ahmad Karaeng yang merupakan tokoh panutan dalam novel ini. Ia adalah tempat bertanya bagi siapa saja, pengalaman hidupnya sangat matang di usianya sudah 75 tahun, dan sudah menjelajah ke berbagai tempat di muka bumi. Tak disangka, manusia yang nampak paling sempurna pun di mata manusia lain, memiliki konflik batin yang demikian besar.

Ada beberapa tokoh lainnya dalam novel ini yang konflik batinnya tak kalah menyentuh sanubari, namun aku tak akan merinci semuanya di sini. Silakan nanti kalian baca saja, ya. Intinya, perjalanan haji pada masa itu sangatlah berat, hanya orang-orang yang benar-benar mampu atau terpanggil saja yang dapat melaksanakannya. Memakan waktu berbulan-bulan mengarungi lautan, karena pada masa itu belum ada pesawat.

Aku hendak menyimpan beberapa quote yang berkesan dari novel ini. Sebagai pengingat bagi diriku sendiri, dan mungkin juga dapat menyentuh siapa pun yang sempat singgah di blog ku dan membaca tulisan ini.

Tere Liye memang penulis yang brilian. Karya-karyanya begitu menggungah dan menginspirasi, dan satu lagi tentang #Rindu, telah menambah kecintaanku akan Islam. Aku semakin bersyukur karena terlahir dalam keluarga Islam. Sungguh karunia yang sangat indah.

Ramadhan Mubarak,
~ Wil Twilite ~

---------------------------------------------------------------------------------------

"Orang pendiam seperti kau ini kadang berbahaya. Tanpa disadari, kau telah membuat orang jadi banyak bicara."

Kita tidak pernah tahu akan bertemu dengan siapa dalam hidup ini. Orang-orang datang silih berganti. Ada yang menjadi bagian penting. Ada yang segera terlupakan.

Tidak selalu orang lari dari sesuatu karena ketakutan atau ancaman. Kita juga bisa pergi karena kebencian, kesedihan, ataupun karena harapan.

Semua kesibukan ini, pengalaman baru, tidak pernah mampu mengusir pergi kenangan itu.

"Apakah untuk menjadi penulis kita harus banyak membaca, Kakek Gurutta?" Elsa bertanya lagi, menatap hamparan buku.

"Tentu, Elsa. Jika kau ingin menulis satu paragraf yang baik kau harus membaca satu buku. Maka jika di dalam tulisan itu ada beratus-ratus paragraf, sebanyak itulah buku yang harus kau baca."

"Saudaramu sesama muslim, jika dia tahu, maka dia akan menutup aibmu. Karena Allah menjanjikan barang siapa yang menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat."

Kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Kenapa kau memilih benci, sedangkan orang lain memilih berdamai dengan situasi di sekitarnya? Pikirkanlah!

Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.

#Rindu
Tere Liye

Selasa, Mei 16, 2017

Perang Melawan Ego

Selama ini kita cenderung menjauhi segala hal yang kita benci atau tidak kita sukai. Alih-alih untuk menghindari penyakit hati, mencari ketenangan, dan keinginan dari dasar hati untuk bahagia. Maka lebih baik kita tidak dekat-dekat dengan segala yang membuat kita merasa tidak nyaman, orang-orang yang memancarkan aura negatif, misalnya, atau orang-orang yang bersikap tidak baik kepada kita dalam keseharian. Untuk apa berdekatan dengan mereka? Kalau memang mereka tidak suka, kita (merasa) juga tidak butuh. Jadi, ya, jauh-jauh saja. Hidup tentunya akan lebih bermakna.

Namun akhir-akhir ini aku menemukan pemahaman yang sebaliknya atas rasa benci. Mengapa harus dipelihara? Mengapa kita harus membatasi diri sesempit itu? Mengapa kita membangun benteng yang tinggi atas kebencian dan rasa enggan menghadapi mereka yang kita benci dan (kita duga) membenci kita? Apakah benar dengan demikian kita akan merasa damai di hati? Tidakkah sikap yang demikian sesungguhnya sama saja dengan tinggi hati?

Suka dan benci adalah dua sisi, hitam dan putih. Memang Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati, namun kita juga memiliki kendali atas perasaan. Kita bisa menyukai atau membenci seseorang atau sesuatu, dan perasaan ibarat tanaman, dapat ditumbuhkan asalkan kita mau merawat dan rajin menyiraminya. Apakah kita mau berusaha menumbuhkan rasa suka itu?

Bersediakan kita mengubah persepsi yang selama ini terpatri di hati? Menurunkan ego untuk menyapa duluan seseorang yang selama ini begitu menyebalkan, dan senantiasa memancing emosi kita setiap kali berinteraksi dengannya? Seseorang yang begitu angkuh dan tidak mungkin mendekat duluan ke kita, berkenankah kita menurunkan ego untuk terlebih dulu menyapanya? Dengan segala resiko penolakan yang mungkin terjadi?

Mungkin terkesan memaksakan diri, awalnya akan menimbulkan perasaan tidak nyaman, seperti secara sadar sedang merendahkan diri. Namun rasa benci harus kita lawan, demi tujuan yang mulia. Menguji ketahanan emosi dan menuju proses kematangan jiwa dan kedewasaan. Waktunya bergerak bukan semata atas dasar rasa suka atau benci. Tak kenal maka tak sayang. Sudah saatnya kita memaknainya lebih dalam. 

Seseorang pernah menyampaikan kepadaku, “Sekian lama kita lost contact, dan akhirnya kita bertemu kembali. Ada satu hal yang tidak berubah darimu, kamu tetap menulis. Aku tidak menemukan blog-mu terhenti sejak pertama kali, bertahun lalu aku mengenal kamu dari tulisan-tulisanmu”.

Kuncinya adalah, kita selalu punya waktu untuk hal yang kita sukai. Aku suka menulis. Tak peduli saat itu sedang tidak ada inspirasi, atau aku hanya menulis sekedarnya saja, tidak tajam atau sarat makna, pokoknya aku ingin menulis, sekalipun itu sekedar sebait perasaan atau sejumput pemikiran yang melintas, akan kutuliskan di sini. Kemudian perasaanku, dan pikiranku terbebaskan.

Aku menulis saat aku senang, sedih, bahkan marah. Menulis, bagiku, mengalirkan ketenangan tersendiri. Pun awalnya blog ini kubuat sebagai curahan isi hati, menulis untuk merelease perasaanku sendiri, untuk dibaca olehku sendiri. Namun seiring waktu blog ini memiliki pembaca, bahkan mendatangkan teman. Alhamdulillah.

Back to topic, intinya kita perlu meluangkan waktu, bukan sekedar untuk melakukan hal yang kita sukai, namun juga untuk berusaha mengalirkan rasa suka, pada apa yang sebelumnya kita benci atau tidak sukai. Memang tidak akan mudah. Jalan menuju kebaikan tidaklah dijanjikan mulus, kita akan menginjak kerikil tajam, atau bahkan tersandung dan terjatuh.

Perang terbesar dalam hidup adalah ketika kita harus melawan ego diri sendiri. Untuk membuktikan apa? Kepada siapa? Lakukan itu untuk diri kita, buktikan pada diri sendiri bahwa banyak hal di sekitar yang ternyata tak seburuk dugaan atau prasangka kita. 

Suka dan benci adalah perasaan. Yakinlah bahwa perasaan dapat dikendalikan, sebagaimana pikiran. Mari runtuhkan dinding tinggi yang menjulang bernama ego, mulailah membuka diri lebih luas dan lapang, ringankan langkah.

Kumpulkan keberanian dan besarkan hati untuk mendekat lebih dulu, untuk menerima, berusaha menyukai, atau paling tidak, lepaskan rasa benci yang pernah ada, tanpa syarat, tanpa perlu alasan apapun selain untuk membersihkan hati, jiwa, dan pikiran.


~ Wil Twilite ~
Jumat, Mei 12, 2017

A Moment of Reflection

Aku tersentak.. pada tamparan-tamparan halus yang menohok, dari orang-orang kesayangan.

Aku tergetar.. pada ketakutan yang teramat sangat, menatap cermin besar di hadapan.

Aku merenung.. dalam pemahaman yang absurd akan diriku sendiri.

Begitu haus keingintahuanku untuk menyelami jiwaku. Tanpa kusadari, aku telah membangun dinding tebal dari siapa pun. Aku kerap mengenakan topeng yang terbaik setiap kali aku berhadapan dengan siapa pun, baik mereka yang kukenal, terlebih mereka yang tak mengenalku.

Aku semakin angkuh dalam langkah yang gontai. Kerapuhanku justru membangun dinding yang semakin tinggi untuk melindungi hatiku dari rasa kecewa, takut, dan tak ingin terluka. Diriku penuh propaganda. Kupetakan begitu banyak tempat yang semestinya bukan wilayah teritorialku.

Izinkan ku berdiam sekali lagi dalam hening yang tak berbatas. Izinkan ku mematut diri di hadapan cermin besar agar senantiasa kuberkaca.

Aku telah mempecundangi diriku sendiri dalam keinginan yang melampaui batas atas nafsu duniawiku. Apa yang kucari?

Biar kuringankan langkahku dalam menemukan kembali jalan pulang seusai ku tersesat di lorong panjang yang gelap. Selama ini aku telah disilaukan oleh cahaya lampu yang meredup saat mentari menyapa. Aku butuh cahaya yang sejati. Menerangi hati, pikiran, dan jiwaku.. yang tak pernah padam.

Cahaya itu milikNya. Hanya Ia Yang Maha Berkehendak, menitipkan cahayaNya di hatiku. Aku hanya dapat memohon ampunanNya, dan kembali pada kodratku yang semestinya. Segala kelemahanku adalah ujian dariNya, semata agar aku bersimpuh dan mohon kekuatan, hanya kepadaNya..


~ Wil Twilite ~
Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan..
Selasa, Mei 09, 2017

Sahabat, kebutuhan jiwa..

Aku terpekur dalam suasana hati yang gamang, dan pikiran yang berkabut. Awalnya, inginku menghadapi semuanya sendirian. Menguji keberanian dalam diri, menghadapi kesepian yang mencekam.

Wajah-wajah sahabatku bermunculan dalam ingatan. Mereka adalah orang-orang yang telah dipilihNya untuk bersimpangan takdir denganku. Pada momen-momen terberat fase-fase usiaku. Aku merindukan mereka. Ya, meski begitu banyak hal yang telah terjadi, mereka masih memiliki tempat teristimewa di relung hati.

Dulu kami saling mencari untuk tempat bersandar, curhat, minta pendapat atau bahkan pertolongan. Kini sudah tidak lagi demikian. Kebutuhan kami satu sama lain sudah jauh lebih luas dari semua itu. Ya, kebutuhan jiwa.

Cukup mengetahui bahwa ketika dihubungi, tak pernah ada kata sibuk. Tak perlu suatu alasan apa pun untuk meluangkan waktu di sela-sela kesibukan.  Tuk sekedar menyapa dalam chat, telepon,  hingga bertemu langsung.

Cukup kebersamaan yang manis, larut dalam perbincangan yang mengalir begitu saja. Tak perlu berkeluh kesah, tak perlu selalu mengungkapkan persoalan hidup. Sebab kebersamaan yang berkualitas sudah mengalirkan kehangatan tersendiri bagi relung hati, dan jiwa. Pikiran pun tenang terasa.

Terima kasih, sahabat. Perjumpaan dengan kalian telah meringankan beban berat di pundakku, memberi perasaan bahagia, dan semangat untuk terus melangkah ke depan.


~ Wil Twilite ~