Rabu, Maret 23, 2016

Hello, Spring...

Those who contemplate the beauty of the earth
find reserves of strength that will endure
as long as life lasts.

There is something infinitely healing
in the repeated refrains of nature -
the assurance that dawn comes after night,
and spring after winter.


- Rachel Carson, Silent Spring
Senin, Maret 21, 2016

The Intern

Dua minggu yang lalu, kantorku kedatangan dua orang anak magang dari PTS luar kota. Satu laki-laki dan satu perempuan. Kebetulan divisiku ditawarin duluan sama HRD-nya. Langsung aja aku minta yang perempuan, dong.. hahaha.. karena memang pekerjaannya kebanyakan yang membutuhkan sentuhan tangan perempuan juga, sih.. bukannya apa-apa..

Namanya Mayang, panggilannya "Yang" aja kali, ya... :D. Singkat cerita, aku jadi coach-nya. Dia nampaknya mengagumi wawasanku tentang hal-hal yang dia ingin tahu. Mengingat gayanya yang chic, jelas Mayang ini anak mall sejati. Selain setiap hari kita sarapan bareng di kantin kantor, dia seneng banget sesekali aku ajak makan siang ke Grand Indonesia, Sarinah, Atrium, dan lain-lain. Well, ngga cuma berdua aja, ya, catet! Rame-rame sama teman-teman kantor yang lain, dan ngga setiap hari juga, sih. Ngga mendidik banget deh, kesannya.

Hobby Mayang yang lain adalah selfie, khas abege banget, deh. Entah udah berapa kali dia ngajak aku selfie setiap kali kami duduk bersebelahan saat jam makan siang. Kalau aku boleh baper sedikit, aku merasa dia maunya emang duduk dekat aku terus, sih. Aku ngga pernah minta dikirimin foto hasil selfie-selfie-an sama dia. Please, deh, jaim dong aku.

Setelah dua minggu kami menjadi cukup akrab, Mayang dengan sopan minta nomor WhatsApp-ku, dan aku berikan. Jumat kemarin, dia kirimkan foto-foto selfie kami yang sudah diedit-edit sama dia pakai aplikasi. Aku melihat WhatsApp-nya saat sedang on the way home, diantara kemacetan, dan jadi senyum-senyum sendiri aja. Lumayan lah buat hiburan.

Keesokan harinya, pagi-pagi saat aku baru mengaktifkan handphone, ada notifikasi di instagram-ku. Mayang has requested to follow you. Wew! Dapat dari mana dia instagramku, ya? Aku tidak langsung accept. Aku diamkan saja sampai weekend ini pun berlalu.

Dan pagi ini, ketika aku sedang asik menikmati my monday morning coffee sambil baca buku ringan, tiba-tiba foto Mayang muncul di WhatsApp Call. Aku agak kaget karena masih pagi banget, ya.

"Halo..."

"Halo, Mba.. lagi di ruangan, ngga?"

"Iya nih, saya di ruangan, kenapa, Yang..? Mau ngajakin sarapan sekarang?" (Yaaaaaang... :D)

"Enggak, Mba.. Justru Mba jangan sarapan dulu, ya.. Saya bawakan sesuatu untuk Mba, saya izin ke ruangan Mba, ya.."

Tak lama kemudian, dia muncul membawa macaroni cheese.

"Kamu ulang tahun, Yang..?" (Yaaaaaaaang lagiiii.. :D)

"Enggak, Mba. Pengen bawain aja. Pokoknya ini khusus buat Mba, ya, jangan bilang-bilang yang lain, please.."

Aku sempat tersenyum bingung, dan disaat aku masih kebingungan mencerna kata-katanya, ia menambahkan, "Mba, macaroninya aman, kok, ngga ada jampi-jampinya, dihabiskan, ya..", kemudian dia berlalu meninggalkan ruanganku.

Alhamdulillah yah.. rejeki anak soleha kayaknya nih. Aku pun menikmati macaroni itu sambil lanjut ngopi. Hmm.. barangkali Mayang senang dengan coaching-an aku, kali, ya.. hehehe.. #PositiveThinking aja :)


~ Wil Twilite ~
Jumat, Maret 18, 2016

Me and My Solitude

Ketika hanya malam
yang sanggup mengeja diamku,

selebihnya,
pagi hanya menyimpan semua mimpiku
dalam kebisuan yang lengang...


Sejatinya, pemahaman berproses dalam diam, ketika diri menilai sikap dan reaksi seseorang atas kata-kata maupun tindakanku. Dalam hal ini perlu kesinambungan antara hati dan pikiran.

Dalam diam tersirat keraguan, menimang segala aspek yang merujuk pada satu keputusan. Dan, keputusan mengambang di awang-awang bagai gugusan mega di lembayung senja yang perlahan menutup tirai kelam malam.

Ada kalanya aksaraku menjelma ikrar yang lain, tatkala ku takut ia menyerupa benang-benang ingatan yang tengah kurajut menjadi tautan rindu berjelaga, dalam termenung.

Rindu, yang tak semestinya dihadirkan...
Cukuplah sunyi ini mengintai sejauh pemahaman dalam diam.


~ Wil Twilite ~



Minggu, Maret 13, 2016

in #coffee we trust

Kepada secangkir kopi, pagi ini aku bercerita tentangnya. Sebab, memang hanya kopi saat ini yang mampu memahami dalamnya perasaanku.

Secangkir kopi akan merahasiakan setiap apa yang kuutarakan.. tentang dia, tentang siapa saja, tentang apa saja.. kami bercakap dalam sesapan yang dalam..


I looked into her eyes and knew: the fire that warms can also destroy. "Expect nothing, and appreciate everything", I told to myself. And what matter most, I don't even seek for anything that could put me in some inconveniently situations, not anymore, after all that I've been through in this life.


Bahayanya tulisan adalah kamu dapat merasa paling engkau dalam segala yang aku ceritakan.


~ Wil Twilite ~
Selasa, Maret 08, 2016

Sang Pelukis Senja

Ingatanku menelusuri kisah tujuh tahun silam. Ketika seorang sahabat, mengenalkanku dengan seorang pelukis wanita bernama Sheilla. Setelah beberapa kali saling berkirim email, lalu bertukar nomor handphone, Sheilla mengajakku bertemu di salah satu mall di Tangerang Selatan.

Saat itu Sheilla membawakan beberapa miniatur lukisan hasil karyanya, yang sebagian besar bertema bunga atau taman yang indah penuh bunga-bunga. Aku tidak begitu mengerti mengenai lukisan, kala itu. Maka ketika ia bercerita tentang aliran dan lain sebagainya, aku mendengarkan sekedarnya. 

Dengan tidak mengindahkan reaksiku yang biasa-biasa saja, Sheilla tiba-tiba mengambil kamera SLRnya, dan mengarahkan lensa ke wajahku. Aku kaget dan reflek menghindar, sambil sedikit marah. Dia kemudian minta maaf. Selanjutnya, ia menunjukkan foto-foto yang ada di kamera itu kepadaku. "Ini beberapa lukisanku yang lain, Wil", seraya merapatkan bahunya padaku dan memperlihatkan foto-foto lukisan lainnya, dan juga foto keluarga besarnya. "Aku dari keluarga baik-baik, Wil. Jadi, kamu tidak perlu merasa khawatir kalau aku akan melakukan hal yang aneh-aneh. Aku sudah mendengar dari Dhea tentang traumamu sama mantan kamu...". Ia menjelaskan tentang keluarganya. Ia tahu aku punya trauma dengan mantanku yang pertama, dari Dhea, teman yang memperkenalkan kami. Aku mengamati jemarinya menekan tombol forward dengan jeda yang pas. Aku merasakan ia merapatkan tubuhnya, dan hal itu membuatku merasa canggung.

Tak lama kemudian, handphone nya berbunyi. "Iya, Sayang... Mama ada di Starbucks sama teman Mama, kamu mau ke sini?", ucapnya penuh kelembutan yang aku duga kepada anaknya. Dan benar, ternyata ia turut membawa kedua putranya ke sini, mereka langsung ke Gramedia, sementara Sheilla menemuiku di Starbucks. Tak lama kemudian, kedua naknya muncul. "Ini teman Mama, Tante Wil. Ayo salim, ya". Setelah sekilas memperkenalkan kami, Sheilla mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, kedua anaknya ingin main Time Zone.

Ia melanjutkan ceritanya, sambil matanya intens menatapku. Jemarinya sesekali menyentuh lembut jemariku. Sorot matanya lembut namun terasa "mengundang". Aku merasa agak kurang nyaman. Tiba-tiba ia meraih ujung jemariku, "Menurutmu aku cantik?" tanyanya. Aku kaget, sungguh pertanyaan yang tiba-tiba dan tak kuduga. Aku menarik perlahan jemariku dari genggamannya. Ia nampak sedikit tersinggung. "Biasa aja", jawabku kemudian. Kini, aku merasa bodoh atas jawabanku kala itu. Sungguh tak beretika. Tapi itulah aku, dulu, di usia 25 tahun, masih sangat hijau dan muda, sementara Sheilla merupakan wanita matang yang usianya hampir 40 tahun.

Kemudian ia menggeser duduknya agak menjaga jarak denganku. "Menurut mantanku, aku cantik", ucapnya kemudian, tanpa senyum. "Ya, mungkin karena dia suka padamu", jawabku santai. "Lalu kamu tidak, Wil?", kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku terdiam. Ini pertama kali kami bertemu. Mana mungkin, kan? Kurasa dia agak terbawa perasaan saja. "Aku baru kenal kamu, Bu...", jawabku sekenanya. "Tapi sebelumnya kita udah sering telponan kan, Wil?". OMG! Lalu? Apakah lantas hal itu bisa membuat seseorang merasa jatuh cinta?, batinku.

Kami lanjut mengobrol dan menjadi agak garing rasanya. Tiba-tiba dia minta maaf, dan bilang kalau Dhea sudah melakukan kesalahan karena memperkenalkan kami yang usianya terpaut jauh. "Walaupun kamu seorang Ibu, tapi masih sangat muda, Wil. Padahal aku bisa mengajarkanmu banyak hal tentang menjadi seorang ibu. Tapi sudahlah, kamu melihatku mungkin tak sesuai harapan", ucapnya. "Bukan, aku pikir kita bisa berteman dulu...", jawabku. "Tidak. Aku mau lebih dari itu. Aku suka kamu, Wil. Sebenarnya kamu dewasa, lucu, menyenangkan. Tapi setelah bertemu aku, sikapmu dingin. Pasti ada yang salah denganku", ia mulai mellow. Lalu ia mulai meracau. Aku merasa tersudutkan. Ini sungguh gila. Ia terlalu cepat menilaiku, dan bahkan memutuskan untuk menyukaiku. Sementara kami belum lama kenal.

Sebelum berpamitan, ia mengeluarkan sebuah kotak manis berwarna pink dengan pita biru muda, "Ini untuk your lil' angel, yang awalnya kukira bisa jadi my lil' angel, too, karena anakku dua-duanya jagoan, ternyata...", ia menghela nafas, lalu menggeleng. Ada rasa bersalah berdesir di dadaku, melihat tatap kecewanya. Aku menolak kotak itu, dan dia bilang sama saja aku menghempaskan hatinya ke dasar jurang paling dalam. Lalu aku menerimanya.

Ia menelpon anak-anaknya, kemudian mereka berpamitan. Aku sempat terdiam di sana cukup lama setelah mereka berlalu dari hadapanku, merenung sejenak. Drama gila macam apa yang baru saja terjadi?, batinku. Tiba-tiba aku merasa sangat jahat, dan sangat bersalah padanya. Kemudian aku pulang. 

Keesokan paginya, aku menerima email dari Sheilla. Isinya permintaan maaf. Katanya, ia tak kuasa menerima penolakanku yang terlalu dini dan tanpa basa-basi, sehingga membuatnya menjadi emosi. Ia ingin menemuiku sekali lagi. Katanya, ia janji akan lebih tenang menghadapiku. "Aku berbincang dengan Dhea seusai aku menemui, Wil, dan Dhea menyayangkan sikapku yang terlalu impulsif kepadamu. Menurut Dhea, kamu harus dihadapi dengan ketenangan, bukan seperti yang aku lakukan kemarin terhadapmu. Beri aku kesempatan sekali lagi, Wil, untuk menemuimu". Aku terdiam. Kubaca berkali-kali email itu dengan perasaan yang silih berganti. Kenapa dia yang minta maaf? Yang benar saja. Sudah jelas aku yang salah. Aku sangat salah.

Kemudian dia menelpon, karena aku tak kunjung membalas emailnya. "Kamu dimana, Wil? Aku akan jemput kamu ke kantor, lalu nanti aku antar pulang, oke? Please, beri aku kesempatan...", suaranya parau dan terdengar putus asa. Kurasa ia tidak dalam mood yang bagus untuk diajak bicara saat ini, menurutku. Aku merasa ada yang salah di sini. Aku yang sudah sedemikian angkuhnya, kenapa dia yang minta maaf dan minta diberi kesempatan olehku, dan bukankah semestinya sebaliknya? "Aku akan balas email kamu, Bu. Ini juga sedang nulis. Kamu tenangkan diri, ya. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu", hiburku dengan suara lembut.

Setelah ia menutup teleponnya, aku membalas email, kusampaikan bahwa aku tidak akan menemuinya lagi, dan terima kasih atas segala kebaikannya. Aku minta maaf atas segala keangkuhanku, dan bahwa aku sesungguhnya hanya ingin berteman saja. Jika ia menginginkan lebih dari itu, butuh proses beberapa waktu ke depan lagi, tentunya. Dan hal semacam itu semestinya mengalir murni seiring waktu.

Dia tidak lagi membalas emailku itu. Namun hujanan smsnya hingga puluhan ke handphoneku. Ia tak memaki aku, namun memaki dirinya sendiri yang terlalu cepat terbawa perasaan hanya karena sikapku yang hangat. Ia sempat bilang, "Bodohnya aku mengira bahwa kamu mungkin bisa jatuh cinta kepadaku". Hujanan kata-katanya yang bertubu-tubi dalam sms-sms itu membuat kepalaku terasa berputar sangat cepat. Aku memutuskan untuk mengganti nomor handphone, dan semua berakhir begitu saja, tak ada komunikasi lagi dengan Sheilla. Seiring waktu, otakku terus berusaha mencerna hikmah dari kejadian ini. Namun hal itu tak berlangsung terlalu lama, setelah aku bertemu dengan yang lain, tentunya. Aku melupakan Sheilla.

Tujuh tahun berlalu. Sudah begitu banyak hal terjadi padaku, dan juga wanita yang datang dan pergi di hidupku, masing-masing meninggalkan pembelajarannya tersendiri. Tiba-tiba aku teringat Sheilla. Ada rasa bersalah yang masih tertinggal di sanubari, saat mengingatnya. Ya, aku ingin minta maaf, atas sikap aroganku padanya, dulu, ketika aku masih sangat muda dan bodoh. Namun tak ada sepenggal jejakpun tentangnya. Aku mencarinya dengan caraku. Membuka semua situs yang berkaitan dengan pelukis wanita Indonesia, satu-satunya hal yang begitu melekat tentangnya, namun hasilnya nihil, karena aku bahkan tak tahu nama aslinya, Sheilla hanya nama alter. Huft.

Aku hampir frustasi. Lalu aku teringat Dhea, teman yang memperkenalkan kami. Aku punya facebook real Dhea, namun untuk bertanya padanya, aku sungkan. Kutelusuri friendlist Dhea yang jumlahnya ribuan orang. Maklum, ia salah satu orang penting di negeri ini. Aku sempat enggan, karena sudah pasti ini akan menghabiskan banyak waktu. Akhirnya kubulatkan tekad. Nawaitu. Di tengah pencarian, aku kewalahan, karena untuk abjad "A" saja rasanya ngga kelar-kelar, dan tiba-tiba paket dataku habis. Damn! 

Setelah mengisi ulang paket data, aku kembali menelusuri. Semua perempuan keibuan yang nampak di sana, aku klik. Kepalaku pening beneran. Bagai mencari sebuah jarum di tumpukan jerami. Namun usahaku ternyata membuahkan hasil yang bahkan tak kuduga. Aku menemukannya! Aku memastikan berkali-kali bahwa itu dia. Sang Pelukis Senja, aku menyebutnya. Thanks to Allah, facebook nya tidak di protect. Aku bolak-balik album fotonya. Ah, aku mengenali wajah kedua anak laki-lakinya, yang kini sudah beranjak remaja.

Lama aku meng-klak-klik profilnya sampai jariku kaku. Berkali-kali aku ingin menekan tombol "Add as friend", namun kuurungkan lagi dan lagi, hingga akhirnya kutekan KLIK!

Damn! What a ....?! Aku mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri. Dan hal itu sudah tidak dapat ku-undo. Rasanya kemungkinan kecil dia akan mengenaliku lagi, setelah tujuh tahun berlalu. Apalagi penampilanku sudah banyak berubah. Dia pasti tidak mengenaliku, batinku. Setiap satu menit kulirik gadget menanti Accepted darinya. Baru satu setengah hari berlalu, aku sudah tidak sabaran. Kubuka kembali profilnya belasan kali hingga wajahnya begitu melekat di kepala. Aku tergoda untuk mengirim pesan. Setelah sejuta keraguan, akhirnya aku meng-klik tombol "Message". Kurasa aku terlalu nekat, dan agak sedikit "gila"! 

"Assalamualaikum, Bu. Mohon berkenan untuk menerima permintaan pertemanan saya. Sudah lama saya mencari Ibu. Wassalamualaikum." SENT! 


~ Wil Twilite ~
Selasa, Maret 01, 2016

Somewhere Over The Rainbow


Di Negeri Hitam-Putih, mereka hanya mengenal warna hitam dan putih saja, meski sebagian diantaranya ada yang abu-abu. Mereka belum pernah memasuki negeri di balik pelangi.

Negeri di balik pelangi bertabur aneka warna. Hati-hati dengan matamu, bisa terpikat sejuta pesona di sana. Untuk memasukinya, kukenakan jubah dan topeng.

Aku berpapasan dengan banyak wajah yang juga mengenakan jubah topeng beraneka. Sebagian mereka yang berpapasan denganku, menyapa dengan ramah. Aku membalas dengan anggukan, sebab senyumku tersembunyi.

Aku menyukai aroma misterinya. Siapakah mereka yang bersembunyi di balik jubah dan topeng beraneka ini...? Barangkali saja, sebagian diantara mereka berasal dari Negeri Hitam-Putih yang tengah berpetualang...?

Ada perpustakaan dan kedai kopi cantik di Negeri Pelangi. Untuk memasukinya harus dengan kata kunci, sebab hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan untuk singgah dan duduk-duduk di sana.

Aku berbincang hangat dengan beberapa wanita istimewa yang berpapasan jalan denganku, kemudian kami saling membagi sepenggal kisah dalam seperjalanan. Harus hati-hati dalam memilih sahabat kenalan di Negeri Pelangi. Jika beruntung, kau akan mendapat permata, namun jika tidak, sepatumu akan terkena lumpur kotor.

Negeri Pelangi menyajikan banyak keindahan, namun tidaklah menjanjikan apa pun. Semua kendali tetap ada di dalam dirimu, maka jangan terlena. Bersenang-senanglah seperlunya saja, tidak untuk larut dan tenggelam. Sebab realita tetaplah berada di sudut pandang hitam, putih, dan abu-abu.

Di perbatasan antara Negeri Hitam-Putih dan Negeri Pelangi, aku pernah memiliki pintu, namun kini cukup dari jendela saja aku memandangnya. Ada kehangatan yang mengalir di sanubari, setiap kali aku menatap keluar jendela itu.

Aku masih memiliki pintu rahasia, hanya dengan mantera sihir, ia dapat dibuka kembali. Untuk mereka yang benar-benar istimewa, tentunya.

Aku merasa bebas untuk menjadi siapa saja di Negeri Pelangi, sebab tak ada aturan yang mengikat. Aku bisa menjadi bijak, atau nakal, atau sesukaku saja. Ketika aku bebas menjadi aku, tetaplah kusebut itu sebagai kebebasan, meskipun harus bersembunyi di balik jubah dan topeng sebagai perisaiku.

Pesanku, jangan berlabuh pada dermaga yang salah jika tak ingin kapalmu karam perlahan ketika rantainya mulai berkarat.

"A smooth sea never made a strong sailor, thought I never met a strong person with an easy past".

Namun untuk memahamiku, tak cukup hanya dengan menterjemahkan aksaraku yang bersayap, sebab aku masih menikmati menjadi misteri.


~ Wil Twilite ~