Rabu, Februari 29, 2012

Anesthetic


Perlahan jarum itu menusuk nadiku

Perih terasa,
saat cairan itu masuk
menjalari aliran darahku

Aku pasrah, terbius...

Sebab ia mampu mematikan fungsi indera dan syaraf-syarafku
Ah, mengapa tak termasuk ingatan...?

Dalam pejam yang melayang,
sayup kudengar suara Dokter,
Biarkan dia sebentar, ini hanya sementara saja...”


Ah, mengapa hanya sementara, Dok...?”
Sayang, ia tak mendengar suaraku...



From this slumber you shall wake, when true love’s kiss, the spell shall break... ~ Disney’s Sleeping Beauty


February 24th, 2012
~ Wil Twilite ~
Rabu, Februari 22, 2012

X-Men: Mutan dan Kita


Gambar di atas merupakan salah satu adegan favoritku dalam film X-Men First Class. Suatu malam Raven mendatangi Charles yang sedang asik duduk membaca di sofa. “Maukah kau membacakan cerita untukku...?”, tanya Raven. “Tidak malam ini. Aku sedang mempersiapkan diri untuk ujian thesisku”, jawab Charles. Raven mendekat, duduk disamping Charles, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Charles, “Baiklah. Bacakan saja thesismu. Aku akan mendengarkannya sebagai pengantar tidurku, seperti biasa”. Well, kurleb seperti itu dialognya, seingatku.

Charles yang sudah mengetahui bahwa dirinya ‘berbeda’ sejak masih kecil, suatu malam memergoki Raven mengendap-endap di dapur rumahnya, mencari makanan. Raven yang panik menampakkan wujud aslinya, mengira Charles akan takut padanya, namun ia salah. “Kau tak takut padaku...?”, tanya Raven heran. “Aku selalu percaya bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang ‘berbeda’ di dunia ini. Dan ternyata aku benar. Ada kau.”, jawab Charles sambil tersenyum, seraya mengulurkan tangannya. Selanjutnya Charles mengangkat Raven sebagai adik dan mengizinkan tinggal dirumahnya. Raven yang selama ini malu pada wujudnya, merasakan ketulusan Charles menerima dirinya apa adanya dan senantiasa memberi dorongan pada Raven agar dapat menerima dirinya sendiri yang 'berbeda'.

In my personal opinion, karakter Charles memang keren. Profesor muda yang jenius, penyayang dan kharismatik. Ditambah kemampuannya memasuki dan mengendalikan alam pikiran orang lain. Telepati tingkat tinggi.

Anyway, kalau dipikir-pikir, kehidupan para mutan dalam film X-Men mirip dengan kehidupan homoseksual (pada umumnya), dan atau kehidupan lesbian (pada khususnya). X-Men mengisahkan eksistensi mutan yang hidup berdampingan dengan manusia. Mereka dianugerahi kekuatan melebihi manusia pada umumnya, namun mengalami kesulitan dalam mengendalikannya. Sebagian mutan ada yang memiliki wujud fisik yang tak biasa, seperti Raven (Mystique). Tak jarang, mereka cenderung mengasingkan diri dari pergaulan karena merasa dan dianggap aneh oleh lingkungan. Dalam proses pencarian jati diri, mereka mencari tahu apakah di luar sana ada orang lain yang seperti mereka, berharap tak sendiri.

X-Men First Class mengisahkan awal perkenalan Charles dengan Raven di masa kecil. Selanjutnya saat dewasa, takdir mempertemukan Charles dengan Erik, menjadikan mereka sahabat. Bersama-sama, mereka mengeksplorasi kekuatan yang dimiliki dan belajar mengandalikannya. Berbekal kemampuan telepati Charles yang sangat tinggi, mereka mulai merekrut mutan-mutan yang berkeliaran di luar sana, mengumpulkannya, menaunginya. Inilah cikal bakal terbentuknya komunitas mutan.

Awalnya mereka semua bersatu dengan satu visi dan misi yaitu melatih dan mengendalikan kekuatan yang dimiliki. Sebab, kekuatan yang tidak terkontrol dapat mencelakai manusia. Namun di tengah jalan, satu peristiwa besar (momentum) menyebabkan Charles dan Erik berseberangan ideologi, yang berakibat pecahnya komunitas mutan menjadi dua kubu. Persahabatan antara Charles dan Erik pun bermutasi menjadi permusuhan.

Charles mendirikan The Xavier Institute atau X-Mansion, tempat yang disediakan bagi para mutan (X-Men) untuk bernaung dan belajar mengendalikan kekuatan yang dimiliki agar dapat berbaur dengan manusia tanpa harus merasa takut dan atau mencelakai. Di sisi lain, Erik dengan Brotherhood of Mutants-nya mengumpulkan mutan-mutan yang merasa diasingkan oleh manusia, menggalang kekuatan besar untuk menguasai dunia, menjadikan manusia sebagai musuh yang dianggap mengancam eksistensi kaumnya di muka bumi.

So... silakan dianalogikan sendiri dengan kehidupan homoseksual dan atau dunia lesbian yang kita jalani. Apakah kita termasuk pengikut aliran Charles Xavier a.k.a. Profesor-X, ataukah kita penganut paham Erik Lehnsherr a.k.a. Magneto...? Apakah kita lesbian yang sekalipun memiliki orientasi seksual berbeda, tetap menyadari bahwa kita merupakan bagian dari masyarakat, dan tetap berusaha meningkatkan kualitas diri kita dalam masyarakat...? Ataukah kita lesbian yang memilih untuk bersikap antipati terhadap masyarakat, karena merasa diri ‘berbeda’ dan hanya ingin hidup dalam lingkaran komunitas sendiri, enggan berbaur dengan masyarakat...?

--------------------------



Unfortunately, I do know you. God, I don't know what's gotten into you lately. You're awfully concerned with your looks. (Professor Charles Xavier to Raven/Mystique)

If you're using half your concentration to look normal, then you're only half paying attention to whatever else you're doing. Just pointing out something that could save your life. You want society to accept you, but you can't even accept yourself. (Erik Lehnsherr to Raven/Mystique)



~ Wil Twilite ~
Kamis, Februari 02, 2012

Intermezzo


Aku menyukai pekerjaanku. Di sela-sela jam kerja yang menggila dan tekanan yang kadang membuat depresi, aku masih bisa menemukan kesenangan tersendiri. Salah satunya adalah membaca-baca beberapa surat kabar ibukota dan majalah wanita yang dikirimkan langsung oleh masing-masing redaksi ke meja bosku. My boss sesekali melirik jika halaman yang sedang kubuka adalah cerpen :D. Hehehe. Biarlah. Toh setiap kali dia menanyakan rubrik-rubrik tertentu yang ‘seharusnya’ aku baca, aku bisa menjawabnya.

Cuplikan cerpen berikut, cukup menarik. Setidaknya, cukup menarik untuk kusimpan di blog tercintaku ini.

-------------------------------------

Amarah Resti yang tersulut karena Kay, memancing perasaan asing yang selama ini tak mampu kuterjemahkan. Kay belum pernah berteriak ketika amarah menguasainya. Perempuan itu selalu memilih diam. Berbeda dari Resti yang selalu mengeluarkan apa saja yang berkecamuk dalam hatinya. Wanita itu selalu terus terang dalam segala hal, walaupun keterusterangannya terkadang menyakitkan.

Sesuatu dalam diri Resti mengeluarkan sisi diriku yang tak pernah kuketahui selama ini. Aku ingin dimengerti oleh wanitaku. Ada riak senang menyadari bentuk perhatian yang selama ini tak pernah kurasakan. Mendiamkan segala kegundahan hati ternyata tak pernah menuntaskan masalah. Menegurku dengan lengkingan suara prajurit di medan perang, justru membuatku sadar kalau aku tak boleh mengulangi kesalahan apa pun yang dapat menyulut emosi Resti hingga batas maksimal.



Cerpen: Second Wife (Rara Lingga, Kartini 2314, 2012)