Selasa, Agustus 27, 2013

#MyLady (chapter two)

Mataku memainkan binar jingga senja, yang tertunduk ia pada pesona biru seumpama pijar api kecil bergelora di sudut terhangat serambi jiwamu...

Seketika aku tenggelam dalam telaga jernih, matamu... yang terdiam namun menyiratkan begitu banyak makna tentang kehidupan... kubiarkan diriku terhanyut di sana...

Andai nafas ini tak berhela barang sejenak, kuangankan jiwaku dalam pengembaraan sunyi diantara reranting pemikiranmu... mungkin saja ku menjelma peneliti yang menyentuhkan jemari diantara cabang-cabang pada belukarnya yang menyesatkan akal sehatku... tak hendak kubuka peta yang terlipat di saku...

Diantara berjuta penyelam handal yang mengarungi kedalaman samudera hatimu, ku 'kan menjadi satu-satunya yang sanggup menerobos hingga sisi tergelap palungmu...


~ Wil Twilite ~
Sepasang sayapku tak kasat mata. Penciptaku Maha Bijak. Dijadikan sayap itu pelindung yang menjaga dengan cinta. CintaNya, dan kecintaanku...
Senin, Agustus 26, 2013

#hubungan >< #komunikasi


Begitu banyak kisah cinta tandas di tengah jalan, dengan rupa-rupa alasan. Salah satunya adalah ketika salah satu merasa "terpaksa" bertahan dalam hubungan yang sesungguhnya sudah tidak lagi terasa nyaman untuk dijalani. Lalu buat apa diteruskan...? Hakikat cinta sesungguhnya bukanlah mengenai "bertahan" dalam keterpaksaan, namun mengenai "tujuan" dari hubungan yang baik.

Seringkali kesalahan dalam suatu hubungan terjadi karena kita kerap menerka-nerka perasaan pasangan. Padahal tidak semua orang memiliki jalan pikiran yang sama, oleh karena itu perlu adanya komunikasi yang baik agar tidak salah terka.


~ Wil Twilite ~


Jumat, Agustus 23, 2013

Kekasih Bijak; a love letter...

Kamu adalah kekasih bijak. Caramu memahamiku begitu indah. Caramu melihatku begitu dalam, seolah mampu menyelami palung jiwaku. Empatimu mengagumkan. Aku tunduk dalam pesonamu. Kau anggun. Sikapmu sangat dewasa. Kau memenuhi segala ekspektasiku akan figur seorang wanita pendamping hidupku. Segala keindahan yang kudamba dari seorang wanita, semua ada padamu, dalam dirimu.

Kamu terbuka dan jujur. Hal yang tak pernah kutemukan sebelumnya dari seorang wanita. Keterbukaanmu mengagumkan, begitu jujur ungkap hatimu menuturkan segala rasa yang ada. Senang, sedih, marah, kecewa, kesal. Semua kau ungkap lewat caramu, itulah keunikanmu. Tetaplah menjadi seperti itu. 

Kau teladan. Kemampuanmu menjalankan semua peran dalam kehidupan dengan baik. Kodrat tak kau kesampingkan, sebagai seorang istri, ibu, dan juga kekasih. Kau begitu sempurna di mataku, kau penyempurnaku. Kau ajarkan padaku begitu banyak hal. Menjadi kakak, guru, teman mengisi waktu, dan pujaan hatiku. Kamu tempatku bermanja, teman bicara dan bertukar pikiran yang menyenangkan, serta teman diskusi yang paling responsif. Kamu, semua yang kubutuhkan.

Kamu salah satu anugerahNya dalam hidupku, sepatutnya kusyukuri di sepanjang sisa usiaku menapaki waktu. Ku ingin kau temani aku, dan aku menemanimu, melewati jejak waktu yang tersisa pada peta usia kita.

Aku mencintaimu, dalam segenap waktu yang ditasbihkanNya seiring ku makin mengenalmu. Aku mencintaimu, dalam tiap jengkal jarak yang membentang diantara kita. Aku mencintaimu, dalam setiap rindu yang mengalun indah pada lantun perbincangan. Aku mencintaimu, dalam untai aksara yang mengukir makna dari ujung jemari. Pada permulaan hari ketika ku terbangun mengingatmu dan mengingatNya, hingga penghujung hari nan hantarkan katup mata ke peraduan, memimpikanmu, tiada henti aksaraku mengalirkan bulir rindu melintasi bentang jarak.

Ku ingin mendekapmu setiap saat, hangatkanmu ketika hujan membasah di sudut langkahmu. Ku ingin berjalan disampingmu senantiasa, lewati liku jalan yang kadang menyesatkan langkah-langkah kita. Ku ingin kamu, bersamamu, dan mencintaimu hingga nafas ini terhenti pada saatnya nanti. Teduhlah, kekasih, di istana hatiku. Engkaulah permaisuri yang selama ini kudamba 'tuk bertahta di sana.



*) a love letter to my dearest one...


~ Wil Twilite ~
Selasa, Agustus 20, 2013

Dua Perahu


Termenung di pelataran waktu. Bermalam-malam kutangguhkan jam tidurku, seolah jiwa enggan terlelap terlalu lama dalam buai mimpi. Menghitung mundur waktu. Membaca goresan dan guratan yang 'tlah terlukis di sepanjang usia. Kini tiba saatnya mengubah sudut pandang. Lebih mematangkan pemikiran dari kungkungan ruang sempit keterbatasan. Think out of the box.

Sesungguhnya tak pernah ada waktu terbuang sia-sia. Sebab dalam kekosongan pun, kita tetap belajar. Dibalik pengalaman pahit, sejarah kelam masa silam dan ketersia-siaan, sesungguhnya tersimpan hikmah yang indah. Kekosongan yang mengisi.

Waktu pun menyempit. Sisa usia berkurang. There's so little time left for us. Masihkah 'kan kita biarkan lewat dalam kekosongan tanpa makna...? Sisa waktu, berapa lamakah yang kita miliki...? Setahun, sebulan, seminggu, sehari, atau bahkan tinggal satu jam lagi... Wallahu'alam...

Lima tahun sudah kukayuh perahu mengarung samudera. Berpapasan dengan perahu-perahu lain yang serupa. Apa yang kucari...? Kawan...? Mereka kerap datang dan pergi, meski ada sebagian yang tinggal. Dermaga...? Sesekali perahuku menepi dan melabuh dalam jeda waktu 'tuk kemudian kembali berlayar menjauh mengarung ombak yang menggulung...

Aku tak ingin lebih lama habiskan waktu di atas perahu, sebab terus mendayung melelahkanku. Kuingin menuju pulau itu bersama perahumu. Tak apa bila waktu yang sama-sama kita punya, tak cukup kita bagi dalam kebersamaan di atas dua perahu yang berbeda. Kita seumpama dua nahkoda, pada satu arah mata angin melaju, satu kecepatan dalam satu irama kayuh. Ada kalanya kita harus fokus menggenggam kayuh masing-masing. Dan selebihnya adalah sisa. Sisa usia kita semenjak kita saling merapatkan perahu di tengah hujan, hingga kelak melabuh pada satu dermaga.

Aku tak ingin melepaskanmu, for any reason... di sepanjang samudera biru yang sama-sama kita arungi. Kelak waktu kan melaju dan musiumkan perahu kita... dan bila saat itu tiba, izinkan kugenggam erat jemarimu, kusematkan butiran tasbih diiring lantun doa dalam irama langkah-langkah sunyi kita menujuNya...


~ Wil Twilite ~
Rabu, Agustus 14, 2013

NEWS of the Day: KPK Tangkap Kepala SKK Migas

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Prof. Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S. sedang menjadi headline di sejumlah portal berita nasional karena tertangkap tangan menerima suap dari pihak swasta.

Saya mengikuti perkembangan beritanya melalui situs andalam saya, KOMPAS.com. Ada salah satu link yang menggugah saya: Prestasi Rudi Rubiandini Hancur Dalam Sekejap.

Link berita tersebut membuat saya merenung. Saya teringat peribahasa "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Baiklah, menerima suap adalah suatu kejahatan besar, seperti halnya korupsi. Namun saya membaca pada beberapa pemberitaan yang menyebutkan hal-hal positif Bapak Rudi sebelum berita ini menjadi sangat menjatuhkan beliau.

Ketua RT sekaligus tetangga beliau di Tasikmalaya menyatakan sejak kecil sampai dengan beliau menjadi pejabat dikenal sebagai pribadi yang tidak sombong dan sederhana, memiliki jiwa sosial yang tinggi dan selalu membantu tetangganya yang kurang mampu, tak pernah memperlihatkan kemewahannya, ramah pada setiap tetangga, tak segan untuk bercengkerama dengan masyarakat sekitar, hingga kalangan tukang becak di kampungnya.

Rekam jejaknya di bidang perminyakan pun menyatakan beliau dikenal sebagai seorang akademisi ulung di bidang perminyakan. Menyelesaikan jenjang Sarjananya di ITB, melanjutkan Pascasarjana di Technisce Universitaet Clausthal, Jerman, dan meraih gelar Doktor pada 1991. Meraih penghargaan sebagai dosen ITB teladan pada 1994 dan 1998. Gelar guru besar pada 2010. Kemudian pada 2011 diangkat sebagai Deputi Operasi Migas oleh Presiden SBY. Wakil Menteri ESDM pada 2012. Dan akhirnya menjabat Kepala SKK Migas.

Luar biasa, bukan...? Rudi Rubiandini memang orang hebat. Tak diragukan lagi. Dan kini, semua prestasinya hancur dalam sekejab. Bahkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD "tega" menyebutnya sebagai "Musang Berbulu Ayam". Ckckckck...!!!

Bagaimana dengan Alm. Presiden Soeharto...? Saat kejatuhannya, beliau begitu dihujat habis-habisan, rakyat Indonesia "sesaat" melupakan jasa beliau membangun negeri selama 32 tahun berkuasa. Saya melihat saat ini Pak Rudi tengah "dihakimi" layaknya Pak Harto dulu. Hati nurani saya sesungguhnya tersentuh atas pemberitaan ini. Saya mencoba berempati pada Pak Rudi. Bagaimana bila saya menjadi seperti beliau atau Pak Harto. Sudah menempuh berbagai pengalaman dan tahapan hingga sampai pada puncak karier saya, dengan tentu saja mengerahkan segenap kemampuan, daya dan upaya yang saya miliki secara maksimal, hingga akhirnya berkontribusi besar dalam bidang yang saya geluti. Lalu langkah saya terpeleset. Satu kesalahan saya lakukan, dan semua orang serta merta menghujat saya tanpa terlebih dahulu bersedia mengetahui latar belakang terjadinya semua itu, dan yang paling parah, melupakan semua "kebaikan-kebaikan" dan kontribusi saya selama ini. Momen #JLEBB banget.

Saya menuliskan ini bukan untuk membela Pak Rudi. Sebab kasus ini seyogyanya biarlah menempuh proses hukum yang berlaku di negeri ini. Saya hanya ingin merenungkan pribahasa "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga" tadi. Marilah kita menjaga langkah. Dan jangan pula kita menjadi penunding, seperti misalnya yang dilakukan Pak Mahfud MD. Lebih baik bercermin diri. Apakah diri kita ini sudah lebih baik dari orang yang kita hujat habis-habisan...? Setidaknya, kita tahu bagaimana sosok Pak Rudi di mata kerabat dan lingkungan tempat beliau dibesarkan. Sebagaimana kita tahu sosok Pak Harto di mata keluarga, kerabat, dan orang-orang yang "merasakan dan menerima" kebaikan beliau semasa hidupnya.

Bagaimana dengan Pak Mahfud MD di mata lingkungan terdekatnya dan masyarakat...?

Bagaimana dengan diri kita sendiri...?


~ Wil Twilite ~