Masti Agustina, terlahir
14 tahun lalu sebagai perempuan. Namun beranjak dewasa ada perubahan pada kelamin dan fisiknya, condong ke arah laki-laki. Perubahan itu membuat hati Masti resah. Dibantu orang tuanya, ia kemudian mengajukan permohonan perubahan status jenis kelamin ke
Pengadilan Negeri (PN) Kendal dari perempuan menjadi laki-laki. Permohonan itu akhirnya dikabulkan. Dan kini nama
Masti Agustina berubah menjadi Mastyan Agustino.
Tian, begitu kini ia disapa. Sejak kecil sudah merasa berat menjalani peran sebagai perempuan yang harus mengenakan rok dan pita rambut, ia rasanya enggan. Usai pemeriksaan di
RSU Kariadi Semarang, akhirnya ia bisa bernafas lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan hormon dan kromosom dirinya dominan laki-laki.
Atas dasar itulah orangtuanya memberanikan diri untuk mengajukan pergantian status jenis kelamin anak sulungnya. Pada 11 September lalu, PN Kendal mengadakan persidangan untuk pergantian status jenis kelamin yang dimohonkannya. "
Dalam pertimbangan kami, berdasarkan keterangan saksi-saksi beserta para ahli menunjukkan bahwa kromosom pemohon lebih banyak kelaki-lakian. Itulah yang menjadi dasar kami mengabulkan permohonan status jenis kelamin dia dari perempuan menjadi laki-laki", tegas Didik Budi Utomo, hakim tunggal yang memimpin persidangan. Selain mengabulkan permohonan, hakim juga meminta kepada catatan sipil setempat untuk mengubah segala dokumen yang menunjukkan Tian dari perempuan menjadi laki-laki dengan perubahan nama barunya.
Sejak lahir
25 Agustus 1998, bidan yang membantu proses persalinan ibunda Tian mengatakan bahwa alat vital Tian tidak sama persis dengan bayi perempuan pada umumnya. "
Ada bagian yang seperti burung, tetapi kecil", tutur ibunda Tian. Namun karena bidan meyakinkan kalau Tian adalah perempuan, maka ia dibesarkan selazimnya anak perempuan dengan pakaian dan dandanan perempuan. Ibunda Tian merasa janggal ketika Tian mulai mengenal mainan, ia lebih memilih dan menyukai mainan anak laki-laki, dan lebih suka bermain dengan anak laki-laki.
Tian mengakui bahwa sejak SD, ia sudah merasa tidak nyaman ketika harus memakai rok ke sekolah. Setibanya di rumah, ia langsung berganti kaos dan celana saja, dan merasa lebih nyaman. Mulanya ibunda Tian menganggap tabiat anaknya masih dalam batas wajar. Tian cuma
tomboi saja. Namun semakin hari ia resah karena sikap Tian semakin jauh dari perempuan pada umumnya. Saat kelas 6 SD, suaranya membesar, payudara tidak mekar atau menonjol, dan tak kunjung mengalami menstruasi. Tian dibawa ke bidan. Sekali lagi bidan meyakinkan tidak ada masalah, katanya Tian hanya terlambat mengalami itu semua.
Setamat SD, orangtua Tian memutuskan memasukkan ke pesantren dengan harapan Tian akan berkurang sikap
tomboi-nya dengan tinggal di asrama. Ternyata berbagai masalah justru muncul saat Tian menginjak kelas IX. Salah satunya adalah
menyukai perempuan. Diam-diam Tian pun berpacaran dengan perempuan yang juga siswi sekolah itu. Mereka biasa nge-
date di taman atau di kamar mandi sekolah, dan akhirnya ketahuan. Tian sendiri tidak begitu merasa bersalah sebab menurut kata hatinya dirinya adalah laki-laki. Katanya ketika melihat perempuan atau tanpa sengaja mengintip perempuan sensasinya justru lain dan lebih hebat.
"
Karena status saya juga perempuan waktu itu, mungkin saya dikira lesbian. Dan sekolah nggak bisa mengampuni hal itu", kata Tian. Pacaran sesama perempuan di pondok pesantren tentu dianggap terlalu kelewatan. Ia pun kena skors 2 bulan. Namun ia kecewa karena hanya dia yang kena skors, sedangkan perempuan pacarnya itu tidak. Rasanya tidak adil.
Walau kecewa, Tian tetap mengucap syukur sebab kejadian ini berbuah hikmah juga. Orangtuanya jadi terdorong untuk memeriksakan kondisi kejiwaan maupun fisiknya ke dokter yang akhirnya menyatakan dirinya sebagai seorang laki-laki.
Tian bersyukur memiliki orangtua yang lapang dada menerima kondisinya sebagai seorang transgender. Apalagi mau berjuang mengajukan pergantian status kelamin ke pengadilan dan berhasil. Di lingkungan tinggalnya, kini banyak orang sudah mengerti kebenaran tentang dirinya, bahkan menerimanya dengan baik. Padahal sebelumnya Tian sempat depresi dan mengurung diri, karena tidak percaya diri untuk bergaul dengan orang lain.
Kini Tian sudah bisa meneruskan studinya yang sempat terbengkalai. Memupuk kembali harapannya yang sempat pupus karena sempat ditolak oleh sebuah sekolah yang notabene direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan Kendal. Teman-teman di sekolahnya yang sekarang pun baik, tidak seperti di sekolahnya dulu, banyak yang mengejek.
Tian sadar kalau dirinya adalah
transgender. Kondisi yang tidak gampang dipahami orang lain. Ia tahu istilah
transgender dari seorang aktivis perempuan, teman ayahnya yang menjadi pendamping serta tempat curhatnya. Tian memahami, masih banyak pihak yang "enggan" memahami "kelainan" orang-orang
transgender semacam dirinya. "
Ada yang bilang saya menyalahkan kodrat Tuhan. Padahal saya ini ingin membenarkan kodrat Tuhan, kalau saya adalah laki-laki. Mereka tidak mengerti susahnya jadi seorang transgender", ujarnya.
Kini, ada satu harapan Tian yang belum kesampaian yaitu melakukan operasi kelamin untuk menyempurnakan kondisi fisiknya. Ia mengatakan, testis masih berada di dalam perut. Kalau tidak secepatnya diambil bisa menjadi kanker. Namun biaya operasi yang diperlukan berkisar
80 jutaan, terlalu berat bagi keluarganya yang biasa-biasa saja.
Menurut
dr. Ketut Lila Murti, SpA, Tian pada dasarnya mengalami kasus
transgender,
yakni keadaan dimana seseorang memiliki jenis kelamin yang tidak spesifik laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin seperti ini - sejalan pertumbuhan anak - akan berkembang sesuai hormon yang paling dominan di tubuh anak. Jika yang dominan itu hormon laki-laki maka kelamin itu akan berkembang menjadi kelamin pria. Sebaliknya jika yang dominan hormon perempuan, maka kelamin itu akan berkembang menjadi kelamin perempuan.
Menurut Ketut, Tian nantinya bisa menjalankan fungsi seksualnya sebagai laki-laki dewasa dengan catatan organ genitalia itu lengkap, misalnya mampu ereksi, ada testis, testis mampu memproduksi sel sperma berkualitas.
Artikel & Gambar:
Majalah Kartini edisi November 2012
---------------------------
Sungguh salut pada kasih sayang, penerimaan dan perjuangan kedua orangtua Tian ketika mendapati anak mereka seorang
transgender. Tian hanya salah satu dari kaum
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang ada di Indonesia. Semoga Tian segera dapat melangsungkan operasi untuk menyempurnakan kelaki-lakian dirinya.
Dari kisah ini mungkin kita dapat lebih membuka mata, bahwa LGBT bukanlah sesuatu hal yang dengan sengaja diinginkan oleh yang bersangkutan, namun merupakan naluri alamiah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Tidaklah mudah menerima keadaan diri yang berhasrat dan jatuh cinta pada sesama jenis, seberapa keras pun kita mencoba ingkari dengan menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Namun, hidup selalu tentang pilihan. Semua kembali pada pribadi masing-masing. Sebagian kaum LGBT ada yang mampu mengendalikan dorongan naluri alamiahnya, sebagian lagi tidak. Serta faktor eksternal (keluarga/lingkungan) tentunya juga dapat mempengaruhi jalan hidup yang kita pilih.
Stay in the closet or coming out,
it's up to you. Jadilah pribadi yang senantiasa bertanggung jawab atas jalan hidup yang kita pilih. Walau terlahir sebagai LGBT, kita masih umatNya, seorang anak, bagian dari suatu perusahaan dan masyarakat. Mari tetap dekatkan diri kepadaNya, jadi anak yang berbakti, dan terus berprestasi. Kita ada diantara masyarakat. Biarkan mereka melihat kita sebagai "
pribadi", dan LGBT cukuplah untuk diri kita, kalangan sendiri, dan orang-orang yang kita percayai. Penerimaan biarlah menjadi proses alamiah.
Just my personal noted,
Wil Twilite