August 23rd, 2008
Akhirnya, hari ini datang juga. Setelah janjian lebih awal dengan Gieza untuk cari kado buat Tata, kami berdua langsung menuju tempat janjian. Sambil menunggu Tata dan Nanda, kami memesan minuman sambil melanjutkan obrolan tentang cowok gebetannya Gieza. Kurleb 30 menit kemudian, Tata muncul, kami bertiga cipika-cipiki sambil pelak-peluk bak teletubbies, tak peduli tatapan sirik orang-orang di sekeliling kami, hehehe.
Lumayan lama kami ngobrol bertiga sebelum akhirnya Nanda datang. Dari jauh dia sudah melambaikan tangan ke arah kami, Gieza dan Tata membalas lambaian tangannya, cuma aku aja yang tampak menunduk, seolah sedang asik (akting) menyeruput minumanku, dan mulai merasa ngga nyaman, entah kenapa.
Setelah bergabung, Nanda ngga langsung duduk, dia cipika-cipiki dulu sama Tata, ketawa-ketiwi, terus dia nyamperin Gieza, mengacak-acak rambut Gieza yang rada di highlite. Akhirnya, sampai deh ke aku, dia sempat melirikku sekilas sebelum akhirnya menghampiriku sambil menyapa, “
Wil…”, aku berdiri dan langsung disambut pelukan hangat plus cipika-cipiki juga, seakan ngga terjadi apa-apa diantara kami. Aku pun berusaha mengimbangi sikapnya dihadapan dua teman kami ini, kubalas sapanya, “
Nda…”.
Kami memesan makanan dan mulai ngobrol macam-macam, bercanda dan saling meledek. Terasa sekali suasana hangat layaknya reuni kecil yang berjalan menyenangkan karena aku dan Nanda sama-sama mampu menjaga sikap dihadapan Tata dan Gieza. Hingga adzan maghrib berkumandang. Tata dan Gieza bergegas ke
musholla mall, sedangkan aku dan Nanda secara kebetulan sama-sama sedang periode.
So, we’re alone now.
“
Ehem, sehat, Wil…?”, Nanda mulai membuka percakapan.
“
Alhamdulillah. Lo sendiri, kemana aja...?”, jawabku sambil berusaha rileks.
“
Ada. Gue emang sibuk belakangan ini, sorry ya kalo gue terkesan menghindar...”
“
Ngga apa-apa sih. Gue bisa ngerti kok, pengakuan gue pastinya ngga bisa langsung lo terima gitu aja. Well, sekarang, selanjutnya kita akan gimana, Nda...?”
“
Hmmm, maksudnya...?”, tanyanya sambil mengerutkan dahi, tidak memahami pertanyaanku.
“
Ya… lo masih bisa nerima gue sebagai sahabat lo, Nda...?”
Nanda terdiam beberapa saat sambil menyeruput juice-nya. “
Hmmm, I’ve been thinking...”
“
And….?”
“
Ngga seharusnya gue merasa kecewa dengan jalan yang lo pilih, karena itu hidup lo. Dan gue juga sempat sharing sama Evan..….tenang, gue ngga nyebutin kalo itu lo…”, ralatnya saat melihat tatapan
shock-ku mendengar nama Evan, bosnya yang
gay itu, karena aku sudah kenal secara langsung. Lalu dia melanjutkan…
“
Gue seharusnya bersikap lebih wise ke elo, Wil... Menghargai kejujuran lo itu... Bukannya malah lari dari lo bak seorang homophobia, sekalipun emang ngga mudah menerimanya, kalo sahabat gue ternyata lesbian...”
Aku menghela nafas panjang, kemudian kubilang, “
Lo tau Nda, butuh waktu yang cukup lama buat gue sebelum akhirnya gue memutuskan untuk coming out sama elo... ini sangat sensitif… this is my big secret which is I don’t wanna let anybody knows... tapi gue butuh seseorang yang sangat gue percaya atas rahasia gue ini, untuk membuat gue merasa diterima, dengan perbedaan yang ada di diri gue... paling tidak, oleh sahabat gue yang udah seperti saudara buat gue, yaitu elo…”
“
Iya, Wil. Maafin gue, ya. Gue kekanakan banget. Padahal gue aja banyak kekurangan, lo selalu mau memahami dan menerima. Lo adalah satu-satunya orang yang masih percaya sama gue, ketika orang-orang meragukan gue. That’s mean a lot for me, Wil. Sekarang gue sadar sepenuhnya bahwa perbedaan pada dasarnya ngga pernah jadi penghalang kedekatan kita selama ini...”
“
Lo tau, Nda... Kemarin tuh gue udah pasrah loh, kalo lo akan menjauh dari gue setelahnya... Itu resiko gue coming out...”
Mata Nanda berkaca-kaca, seraya mengulurkan kedua tangannya, menggenggam erat kedua tanganku. Kehangatan persahabatan kembali mengalir diantara kami.
Sejenak kami terdiam, sayup-sayup terdengar lantunan lagunya
Opick yang ‘
Rapuh’ di resto itu. Setelah berapa lama, Tata dan Gieza pun kembali. Kami sempat cekakak-cekikik sebentar sebelum akhirnya waktu menunjukkan sudah jam 19.00 WIB, kami sepakat bubaran. Tata dan Gieza tempat tinggalnya searah dan naik bus yang sama sampai terminal Kampung Melayu, sedangkan aku dan Nanda biasanya menunggu bus di halte yang berbeda dengan Tata dan Gieza, jadi kami berdua masih jalan bareng sampai ke halte yang sama, dan melanjutkan obrolan.
“
Wil…”
“
Hmmmm….”
“
Sebenernya, banyak yang mau gue dengar tentang masa lalu lo yang selama ini udah berhasil lo sembunyiin dengan sukses dari gue. Ya… kalo lo ngga keberatan untuk cerita sama gue, sih...”
“
Ya…gue sih ngga keberatan, Nda. Kapan ya, gue certain semuanya ke elo...?”
“
Gini aja, gimana kalo lo nginep di kost gue aja...? Lo kan udah lama tuh, ngga nginep di kost gue...”
“
Sekarang juga, maksud lo…? Tapi kan gue ngga bawa baju, Nda...”
“
Halah. Biasanya juga dulu elo sering nginep dadakan kaya gini, terus pakai baju kerja gue besoknya buat ngantor, hehehe...”
Akhirnya aku menginap di tempat kost Nanda, dan malam itu aku mulai membuka satu-persatu rahasiaku, tentang Luna, dan perjalanan rahasiaku menapaki dunia ‘
the other’. Nanda mendengarkan dengan seksama cerita-ceritaku sambil sesekali berkomentar. Akhirnya, terlepas sudah satu beban di pundakku, sahabatku mau menerimaku apa adanya. Ternyata, bulan suci Ramadhan memang mendatangkan berkah, membuka pintu maaf antar sesama manusia, menjalin kembali tali silaturahmi yang sempat terputus, dan bahkan mengumpulkan 4 orang sahabat yang sudah cukup lama tidak berkumpul bersama, terlebih lagi akan ada pertemuan berikutnya untuk acara buka puasa bersama di bulan penuh rahmat ini.
Cahaya-Nya, ternyata masih menyinari sisi kehidupan yang diliputi kegelapan, kasih sayang-Nya, ternyata benar-benar menyentuh kedalam kalbu umat-Nya, tanpa pilih kasih. Tak ada yang pantas dihaturkan kehadirat-Nya selain rasa syukur, bahwa Dia tidak pernah meninggalkan diriku….
Big Thanks, to the owner of this life, My Lord,
Allah SWT.
~
Wil Twilite ~