Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas),
Prof. Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S. sedang menjadi
headline di sejumlah portal berita nasional karena tertangkap tangan menerima suap dari pihak swasta.
Saya mengikuti perkembangan beritanya melalui situs andalam saya,
KOMPAS.com. Ada salah satu
link yang menggugah saya:
Prestasi Rudi Rubiandini Hancur Dalam Sekejap.
Link berita tersebut membuat saya merenung. Saya teringat peribahasa "
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Baiklah, menerima suap adalah suatu kejahatan besar, seperti halnya korupsi. Namun saya membaca pada beberapa pemberitaan yang menyebutkan hal-hal positif Bapak Rudi sebelum berita ini menjadi sangat menjatuhkan beliau.
Ketua RT sekaligus tetangga beliau di Tasikmalaya menyatakan sejak kecil sampai dengan beliau menjadi pejabat dikenal sebagai pribadi yang tidak sombong dan sederhana, memiliki jiwa sosial yang tinggi dan selalu membantu tetangganya yang kurang mampu, tak pernah memperlihatkan kemewahannya, ramah pada setiap tetangga, tak segan untuk bercengkerama dengan masyarakat sekitar, hingga kalangan tukang becak di kampungnya.
Rekam jejaknya di bidang perminyakan pun menyatakan beliau dikenal sebagai seorang akademisi ulung di bidang perminyakan. Menyelesaikan jenjang Sarjananya di ITB, melanjutkan Pascasarjana di
Technisce Universitaet Clausthal, Jerman, dan meraih gelar Doktor pada 1991. Meraih penghargaan sebagai dosen ITB teladan pada 1994 dan 1998. Gelar guru besar pada 2010. Kemudian pada 2011 diangkat sebagai Deputi Operasi Migas oleh Presiden SBY. Wakil Menteri ESDM pada 2012. Dan akhirnya menjabat Kepala SKK Migas.
Luar biasa, bukan...? Rudi Rubiandini memang orang hebat. Tak diragukan lagi. Dan kini, semua prestasinya hancur dalam sekejab. Bahkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD "tega" menyebutnya sebagai "
Musang Berbulu Ayam". Ckckckck...!!!
Bagaimana dengan Alm. Presiden Soeharto...? Saat kejatuhannya, beliau begitu dihujat habis-habisan, rakyat Indonesia "sesaat" melupakan jasa beliau membangun negeri selama 32 tahun berkuasa. Saya melihat saat ini Pak Rudi tengah "dihakimi" layaknya Pak Harto dulu. Hati nurani saya sesungguhnya tersentuh atas pemberitaan ini. Saya mencoba berempati pada Pak Rudi. Bagaimana bila saya menjadi seperti beliau atau Pak Harto. Sudah menempuh berbagai pengalaman dan tahapan hingga sampai pada puncak karier saya, dengan tentu saja mengerahkan segenap kemampuan, daya dan upaya yang saya miliki secara maksimal, hingga akhirnya berkontribusi besar dalam bidang yang saya geluti. Lalu langkah saya terpeleset. Satu kesalahan saya lakukan, dan semua orang serta merta menghujat saya tanpa terlebih dahulu bersedia mengetahui latar belakang terjadinya semua itu, dan yang paling parah, melupakan semua "kebaikan-kebaikan" dan kontribusi saya selama ini. Momen #JLEBB banget.
Saya menuliskan ini bukan untuk membela Pak Rudi. Sebab kasus ini seyogyanya biarlah menempuh proses hukum yang berlaku di negeri ini. Saya hanya ingin merenungkan pribahasa "
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga" tadi. Marilah kita menjaga langkah. Dan jangan pula kita menjadi penunding, seperti misalnya yang dilakukan Pak Mahfud MD. Lebih baik bercermin diri. Apakah diri kita ini sudah lebih baik dari orang yang kita hujat habis-habisan...? Setidaknya, kita tahu bagaimana sosok Pak Rudi di mata kerabat dan lingkungan tempat beliau dibesarkan. Sebagaimana kita tahu sosok Pak Harto di mata keluarga, kerabat, dan orang-orang yang "merasakan dan menerima" kebaikan beliau semasa hidupnya.
Bagaimana dengan Pak Mahfud MD di mata lingkungan terdekatnya dan masyarakat...?
Bagaimana dengan diri kita sendiri...?
~
Wil Twilite ~