Kamis, Oktober 13, 2011

SHIT HAPPENS


Novel SHIT HAPPENS ini aku baca sekitar pertengahan tahun 2008. Ketika itu tertarik aja sama covernya yang lucu dan unik, sambil aku baca-baca bagian belakang covernya. Hmmm, sepertinya ceritanya fresh dan mengandung unsur humor yang cerdas, mengingat ketika itu novel-novel lain yang kubeli kebanyakan masuk kategori serius.

Ternyata Shit Happens memang novel yang menarik. Ada banyak pelajaran berharga yang bisa diambil tanpa merasa digurui oleh si penulis. Bahasanya yang blak-blakan juga menjadi daya tarik tersendiri dalam menikmati lembar demi lembar kisahnya.

Bercerita tentang 3 orang sahabat yaitu Sebastian, Lula dan Langit. Mereka bertiga tengah diuber deadline untuk segera mengakhiri masa lajang oleh keluarga dan lingkungannya. Dalam perjalanan untuk mewujudkan itu, mereka melakukan berbagai upaya hingga akhirnya 'menemukan' diri mereka yang sejati setelah melewati berbagai kejadian. Persahabatan mereka cukup unik, banyak sisi menariknya gitu deh, menurutku. Smart story lah pokoknya. Plus gaya berceritanya yang so easy tapi berbobot, bikin membaca buku ini terasa ngga membosankan.

Saking kerajinannya, aku sempat menyalin beberapa point yang kuanggap menarik. Well, aku ingin membaginya disini. Bagi yang sudah baca, mungkin bisa flash back sama bagian-bagian ini. Dan bagi yang belum baca, silakan cari novelnya dan baca, ngga akan menyesal deh. Atau boleh pinjam punyaku kalau mau ^^

~~~~~~~~~~~~~~~

Oke, banyak memang yang menganggap wajar orang-orang gay. Mereka bilang, sah-sah saja hidup dengan preferensi seksual seperti itu. Tapi aku enggak. Lebih tepatnya, aku, mama, dan sebagian besar manusia di bumi Indonesia ini. Gay itu penyakit. Gay itu dosa. Aku nggak mau mengambil resiko dikucilkan karena jadi gay”. (Sebastian)

God, forgive me. Ternyata, susah ya hidup lurus sesuai aturan main-Mu...?” (Sebastian)

Orientasi seksual tak pernah bohong. Dia memilih. Bukan dipilihkan. Sama seperti rasa”. (Langit)

Gini deh, seandainya gue ngaku ke orangtua gue kalo gue lesbi, misalnya. Kalo lo ngira nyokap gue bakal meluk gue dengan penuh haru, “Ooh, anakku ternyata jadi lesbi, syukurlah, Nak...” – LO SALAH BESAR”. (Lula - ditujukan ke Sebastian yang coming out ke nyokapnya, ngaku dirinya gay)

~~~~~~~~~~~~~~~

Pernikahan nggak membatasi siapa pun. Memang, secara otomatis semuanya akan terbatasi, tapi bukan berarti mengekang, kan...?” (Lula)

Gue dukung opini lo tentang pernikahan. Pernikahan nggak seharusnya mengekang. I’m not against you. But, what I don’t like is your way of escaping from that situation. You did not even give any chance to him. You didn’t even try to explain anything. Lo cuman defend”. (Langit)

Gue curiga, jangan-jangan justru elo yang sebenarnya selama ini belum berani terikat dengan komitmen. Tapi, lo malah nyalahin semua cowok yang punya hubungan dengan lo. Hanya karena lo nggak cukup punya nyali buat nyalahin diri lo sendiri. Nggak mau ngakuin kalo persoalannya ada di elo. Elo yang belum sanggup mengomunikasikan semuanya. Elo yang belum sanggup berkomitmen. Elo belum siap nerima orang yang paling dekat sama elo justru berbeda pendapat sama elo”. (Langit)

Yes. You’re just hearing, not listening. You’re just speaking, not talking”. (Langit)

Muka Stitch yang bengal abis malah bikin gue merenung. Ke mana aja gue selama ini...? Kayaknya, gue terlalu sibuk dengan pikiran sendiri. Gue terlalu egois. Karena ngga ingin disakiti, gue menuntut orang yang harus memahami gue. Gue lupa, dalam setiap hubungan harusnya kita saling mendengar, saling berbicara. Mengomunikasikannya. Bukan langsung ambil langkah seribu ketika perbedaan terlihat. Gue anggap selama ini gue udah banyak berbicara. Ternyata keliru. Gue cuman sekedar ngomong. Gue ngga pernah benar-benar mengomunikasikan apa pun. Gue cuma takut dituduh nggak bisa berkompromi. Nggak penuh toleransi. Gue masih gagap dengan konsep sebuah komitmen dalam berhubungan. Gue menjadikan perbedaan yang ada sebagai alasan pembenaran untuk pergi. Langit benar, persoalannya bukan berada di cowok-cowok yang pernah dekat dengan gue. Persoalannya ada di diri gue sendiri. Gue yang belum siap berkomitmen”. (Lula)

~~~~~~~~~~~~~~~

Tapi gue nggak bisa toleransi sama yang namanya perselingkuhan”. (Sebastian)

Nope. Selingkuh artinya melanggar kesepakatan untuk setia yang telah kita buat sebelum memutuskan jadian. Dia nggak cuma berbohong, dia juga nikam gue dari belakang, menertawakan ketidaktahuan gue, melecehkan gue. Siapa tahu, dia juga mungkin doing something sama selingkuhannya di luaran sana. Mana gue tahu. Intinya, no excuse for cheating”. (Sebastian)

~~~~~~~~~~~~~~~

Langit : “Gue nggak nuduh elo kok
Lula : “Secara verbal sih enggak. Tatapan lo aja udah cukup ngasih statement

The FUTURE should be a place where we WILL go, not something that will come to us where we are NOW

Don’t stay too much longer in front of one door that already closed. You can’t see that the other door has opened for you”. (Alex)

Yup. Selama ini gue udah terkungkung dengan pikiran gue sendiri. Terlalu ingin memahami orang lain membuat gue lupa memahami apa yang sesungguhnya diinginkan diri gue sendiri. Gue terlalu ingin mempertahankan label kalau gue adalah orang yang penuh pengertian. Yang bisa memahami apa pun lebih dari orang lain. Tapi akhirnya, gue justru menyakiti diri gue sendiri. Justru tak memberi ruang buat jiwa gue”. (Langit)

Memahami orang lain memang nggak gampang. Tapi, jujur dengan diri sendiri ternyata lebih sulit”. (Langit)

I learned one thing today. Tentang memahami dan keikhlasan dalam memahami. Ternyata ikhlas itu nggak sama dengan sekedar memahami. Hari ini, gue memutuskan untuk keluar dari sudut pandang gue, lalu mencoba lebih banyak menggali dari sudut pandang orang lain. Well, setidaknya, gue bakal mulai dengan mengutarakan apa yang sebenarnya ada di hati gue. Oh...no...no..., gue harus memulainya dengan memaafkan orang lain tanpa tendensi. Memaafkan bukan lantaran gue pengen dianggap pemurah atau penuh pemahaman – just like what I did selama ini. Bukan. Memaafkan jenis itu ternyata hanya bikin gue semakin sakit dan menciptakan lebih banyak kemarahan. Gue ingin memaafkan orang lain karena itu bikin gue ngerasa lebih baik". (Langit)

...memaafkan orang lain ternyata membuka pintu untuk menerima diri gue sendiri. Gue nggak bakal bisa menerima diri gue sendiri tanpa terlebih dahulu memaafkan. Jauh di lubuk hati gue, gue juga ingin dimaafkan. Dimaafkan untuk kepura-puraan gue selama ini”. (Langit)

~~~~~~~~~~~~~~~
Shit Happens : Christian Simamora + Windy Ariestanty



~ Wil Twilite ~

Tidak ada komentar: