July, 19th 2008...
Baru jam
13.30 WIB saat aku tiba di
Plaza Semanggi, lebih cepat 30 menit dari waktu yang telah kusepakati dengan
Nanda,
sahabatku. Aku memang merencanakan datang lebih awal agar aku bisa mempersiapkan diri sebelum benar-benar sanggup untuk berterus terang padanya. Sudah lama aku ingin menceritakan hal ini padanya, karena dia adalah sahabat terdekatku, kami bahkan sudah seperti saudara. Selama ini hampir tidak pernah ada rahasia diantara kami.
Aku mengenalnya di kampus tercinta, ketika kami sama-sama sedang antri di salah satu loket pendaftaran untuk tes masuk. Aku antri tepat di belakang dia, karena antrian mulai ngga karuan, dia terdorong dari arah depan dan kakinya menginjak kakiku, ”
Aduh, yang bener aja dong”, keluhku jutek. Dia menoleh, katanya ”
Sorry, ngga sengaja. Nih yang di depan juga pada main dorong aja sih...!”. ”
Ya udah, ngga papa”, jawabku kemudian. Yah mau gimana lagi, emang sebenarnya sih dia ngga salah juga, aku hanya reflek mengeluh karena kakiku terinjak. Selanjutnya, kami kembali saling terdiam dalam antrian yang masih lumayan panjang itu. Rasa-rasanya sesi antri di loket itu
so wasting time banget, deh.
”
Lo sendirian?”, tiba-tiba dia ngajak ngobrol
”
Iya, kenapa emangnya?”
”
Ngga apa-apa, nanya aja. Gue juga sih, kayaknya teman SMU gue ngga ada satu pun yang daftar kesini”
”
Sama dong kaya gue”, jawabku sambil nyengir ke dia. Dia ikutan nyengir
”
Lo SMU-nya di Jakarta ya?”, tanyanya
”
Iya, emang lo dimana, bukan di Jakarta, ya?”
”
Bukan. SMU gue di daerah Parung”
”
Parung...? Jauh amat ya. Kenapa daftar kuliah di sini...?”, tanyaku heran. Ya, soalnya dia SMU-nya di Parung, tapi kuliah di Jakarta
”
Iya, bokap rada maksa gitu, katanya sih rekomendasi kenalan bokap. Btw, belom kenalan, gue Nanda”, dia mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya
”
Wil”, dahinya berkerut mendengar namaku
”
Cuma Wil aja?”
”
Wilhelmina”
”
Ooo, Wil is just a nick, ya? Sounds cool”
”
Tengkyu”
Itulah awal perkenalan kami, selanjutnya kami kebetulan satu kelompok selama ospek, dan ternyata kami mengambil jurusan yang sama, sering sekelas, banyak jadwal yang barengan, sering jalan bareng juga. Kami juga nge-
gank dengan dua orang lagi, tapi aku paling akrab sama Nanda. Kami pernah juga cari kerja barengan, buat cari uang tambahan sambil kuliah. Banyak peristiwa yang sudah kami jalani bersama, saling membagi kisah masa lalu, membuat kami seperti sudah saling mengenal sejak lama.
Kepribadian kami berdua sebenarnya sangat bertolak belakang, tetapi entah mengapa hal itu tidak pernah menjadi penghalang kedekatan kami.
Nah, itu Nanda datang, aku melambaikan tangan saat kulihat dia sedang tengak-tengok mencari aku di tengah keramaian.
”
Sorry Wil, telat dikit. Biasa, macet. Lagian tadi meetingnya juga rada molor dari yang dijadwalin gara-gara si Benny kebanyakan argumen, udah gitu si Evan ngasih jawaban panjang lebar pula, ngga nyadar kalo seruangan udah pada bolak-balik ngeliatin jam tangan, sampe ada beberapa orang yang mendadak sakit tenggorokan segala. Hehehe...”, saking dekatnya hubungan kami, kami sudah hafal dengan orang-orang yang berhubungan dengan kami sehari-hari di kantor, aku bahkan sudah dikenalkan secara langsung dengan beberapa rekan kerjanya yang satu divisi, dan juga sebaliknya, Nanda sudah kenal sebagian teman kantorku.
”
It's okay”, jawabku
”
So, what’s the serious thing...?”, tanyanya
to the point sambil menarik bangku di hadapanku. Mataku spontan melotot mendengarnya.
”
Entar dulu dong, pesen makan juga belom, udah pengen denger cerita aja. Masa baru dateng langsung to the point gitu sih”. Dia tertawa lebar, lalu telunjuknya mengacung memberi kode pada satu pelayan yang melintas di dekat kami, dan mulai memesan makan.
Inilah saat yang bikin aku deg-degan, karena tujuan utamaku ngajak dia ketemu saat ini adalah untuk
coming out ke dia. Aku sudah mempertimbangkan dengan seksama, dan merasa dia perlu tahu. Menyadari kalau diriku ”L” adalah sesuatu hal yang besar,
and I think I don’t have to keep this secret forever from her.
Salah satu alasan yang mendasari keputusanku untuk
coming out ke Nanda adalah, kurleb hampir dua tahun yang lalu (lama amat yak :p), Nanda pernah cerita ke aku tentang
Evan, bosnya di kantor, yang tiba-tiba
coming out ke Nanda bahwa dirinya
gay. Nanda bilang, ia tidak terlalu terkejut dengan pengakuan Evan, karena gelagat Evan memang sudah terbaca. Bahkan hampir seisi kantor sepertinya juga sudah tahu. Yang membuat Nanda terharu, Evan mengakuinya secara personal pada Nanda.
Ketika itu aku bertanya pada Nanda, ”
So, sikap lo ke dia bakalan berubah ngga, setelah dia ngaku ke elo kalo dia gay?”. ”
Ya, awalnya sih gue takut, Wil. Lo kebayang ngga sih, tiba-tiba aja dia membuka rahasia dirinya ke gue...? Terus, dia mulai cerita secara mendetail, dari mulai dia merasa dirinya ngga ada ketertarikan sama sekali sama cewek, justru malah berdesir kalo ngeliat sesama cowok. Awalnya dia juga ngga mau nerima kenyataan itu, tapi di sisi lain dia merasa tersiksa untuk bersikap ’pura-pura normal’ padahal sebenernya ngga. Sampe dia masuk ke komunitas gay yang dia temuin di internet, yang membuat dia bisa
feel comfort to accept himself as a gay karena merasa dirinya ngga sendirian".
"
Dia juga ngga maksa gue untuk ’menerima’ eksistensi kaumnya sebagai suatu kewajaran, mengingat negara ini masih dipenuhi aturan-aturan dan norma-norma yang ngejelimet. Gue pikir, kenapa juga gue harus merasa kalo derajat gue lebih tinggi dari dia, semata-mata karena gue ‘normal’, terus gue menjustifikasi kaum gay. Ngga ada jaminan yang mutlak juga bahwa orang ‘normal’ lebih beradab dari mereka, iya ngga...? Menurut gue kalo bicara soal moral, semua kembali ke pribadi masing-masing”.
Sudah 30 menit kami berbincang sambil makan. Seperti biasa, kalau ketemuan gini, pasti banyak cerita yang mengalir. Piring kami berdua sudah bersih. Dan sambil mengelap mulutnya dengan tissue, Nanda mengulangi lagi pertanyaannya yang tadi.
”
So, what’s the serious thing, Wil...?”
Aku terdiam beberapa saat sambil berusaha mencari-cari kalimat yang tepat sebagai prolog, tapi kok otakku buntu. Nanda mulai keliatan ngga sabaran.
”
Hmm, too serious...? Until make you freeze like this...?”. tatapan jenakanya mulai menggoda di depan wajahku yang mematung. Akhirnya aku coba sekali lagi untuk memberanikan diri bicara.
”
Nda... seandainya, nieh... hmm... gue... hmm... gimana ya ngomongnya... hmm...”, aku mulai menggaruk-garuk belakang telingaku yang ngga terasa gatal sama sekali.
”
Plis deh, Wil. Kenapa lo jadi salting kaya gitu. Biasa aja kali. Rileks, Wil. Apapun yang mau lo sampein ke gue itu ngga akan bikin dunia kiamat. Mendingan lo minum dulu deh, nih...!”, celotehnya sambil menyodorkan air mineral. Aku mengambilnya, lalu meneguknya perlahan sambil tetap menatap matanya yang masih menatapku penuh tanya.
”
Nda... gue... gue... Hmmm, sebenernya gue ngga ngerti kenapa gue merasa harus jujur sama lo tentang hal ini, tapi... gue cuma merasa sepertinya gue punya beban kalo harus terus merahasiakan hal ini dari elo, sedangkan... lo udah gue anggep...”, aku mulai
speechless.
”
Apaan...? Pembokat...? Atau cenayang...? Yang bisa nebak dengan sangat tepat kelanjutan kalimat lo, gitu...?”, dia coba melucu, tapi jayus, sebab ekspresi wajahnya masih tetap serius. Aku menghela nafas cukup panjang. Aku belum juga berhasil merangkai kalimat prolog apapun di hadapan orang yang menatapku seperti sedang membaca sebuah buku berukuran besar yang terbuka lebar dengan tulisan yang ukuran
font-nya segede gaban.
”
Nda... lo harus tau, kalo gue ternyata punya kecenderungan lesbian. Gue suka perempuan, Nda...”, aku ngga sanggup menatap matanya saat aku mengucapkan kalimat itu. Aku langsung menunduk. Sejenak ’setan gagu’ singgah diantara kita. Aku belum berani melihat ekspresi wajahnya. Setelah kira-kira dua menit, aku mendengar suaranya lagi.
”
Wil...”
”
Ya...”, aku mulai mengangkat wajahku yang tertunduk, memberanikan diri untuk menatap matanya yang sedang menatapku serius,
”
Lo... serius...?”
”
Ya...”
”
Since when...?”
”
Long time ago... long story...”
Nanda terdiam lagi sambil tetap menatap tajam mataku, seakan sedang mencari sesuatu di dalamnya.
”
Have you ever been in a relationship... kinda... you know what I mean...?”
”
Yes, I was, kinda...”
”
How many times...?”
”
Just once, and it was before we knew each other...”
”
I can’t believe it”. Nanda menggeleng. Kemudian lama kami saling terdiam lagi sambil sesekali Nanda meneguk minumannya.
”
Wil... I think I should go, now...”. Nanda berdiri, memberi isyarat bahwa dia tidak mau lagi berlama-lama berada di hadapanku.
”
Okay. Thank you for your time... to come...”, aku merasa aneh saat mengucapkannya. Tidak pernah percakapan kami terasa sekaku ini. Nanda menatapku cukup lama, dengan tatapan yang tak mampu kumaknai saat itu, sebelum akhirnya pergi dari hadapanku tanpa berkata apa-apa lagi. Dia berlalu begitu saja, meninggalkan berbagai pertanyaan dalam benakku akan reaksinya.
Hmmm, sudahlah. Memangnya reaksi seperti apa, sih, yang aku harapkan darinya, seharusnya...? Yang penting, aku sudah jujur, dan sekarang hatiku terasa plong. Biarlah waktu yang akan memberikan jawaban, bagaimana kelanjutan kisah persahabatan kami kelak...
*)
to be contineu