bosan bercerita,
bosan mencari-cari objek,
bosan berpura-pura menjadi “
orang baik”
Orang baik adalah
species manusia yang
paling dicari di seantero jagad raya. Baik oleh perusahaan-perusahaan yang meminta para pelamarnya untuk melampirkan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian maupun oleh individu-individu yang bertebaran mencari relasi, rekan kerja, teman, sahabat hingga pasangan hidup dari kalangan “
orang baik”. Nah, karena alasan inilah banyak orang di berbagai belahan dunia manapun ingin menunjukkan pada orang lain bahwa dirinya dapat dikatakan masuk kategori “
orang baik” tersebut.
Mari kita persempit lingkup pembahasan mengenai standar “
orang baik” ini sebatas pada dunia lesbian saja. Kalau dulu, sebelum teknologi semaju sekarang, banyak orang cenderung tertipu oleh penampilan luar seseorang. Misalnya, kalau seseorang berpenampilan rapih dan bersih, pasti dia “
orang baik” dan sebaliknya, orang yang berpenampilan tidak rapih, lusuh dan berantakan, sudah pasti dia “
bukan orang baik”.
Well, stereotip semacam ini justru dipelajari secara seksama oleh
species orang yang tergolong kedalam kategori “
bukan orang baik” untuk berbuat tidak baik sambil berpenampilan
a la “
orang baik”. Begitu banyak korban yang jatuh alias tertipu oleh penampilan, dan setelah berbagai media mulai memberitakannya, barulah masyarakat mulai
mempertajam indera mereka untuk dapat mengenali “
orang baik” tidak lagi hanya berdasarkan kulit luarnya saja.
Kini, dunia semakin canggih, dimana sosialisasi lebih banyak berlangsung melalui media elektronik dan jejaring sosial dunia maya, terutama bagi mereka yang dikategorikan masyarakat urban atau masyarakat perkotaan atau masyarakat
modern yang lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar komputer dibandingkan di tempat lain. Para lesbian pun mulai membentuk komunitasnya sendiri-sendiri. Kita bebas menentukan tempat masing-masing di dunia maya, bebas menentukan dengan siapa kita ingin memulai suatu bentuk hubungan apapun, serta kapan kita dapat dengan mudahnya mengakhiri hubungan tersebut. Semua serba instan, semua hubungan yang terjalin juga tidak memerlukan proses yang terlampau panjang dan berbelit-belit untuk dimulai dan diakhiri.
Mengingat pola pikir masyarakat urban yang serba cepat dan cenderung dinamis, kita pun mampu untuk segera menyesuaikan diri dengan kebutuhan diri kita sendiri dan orang lain atas stok “
orang baik” tadi. Mulailah kita membentuk karakter maya berdasarkan grafik permintaan “
character searching” yang tinggi akan kebutuhan sosok “
orang baik”.
Generally,
seseorang memiliki kempuan membentuk citra dirinya sendiri untuk dinilai oleh orang lain sesuai dengan keinginan dirinya.
Di dunia lesbian yang sangat marak dengan aksi gebet-menggebet secara maya, terutama bagi mereka yang tidak
coming out, tentunya. Ketika melakukan aksi PDKT dengan perempuan lain, pastilah dia menampilkan segala yang baik-baik untuk menarik minat perempuan incarannya ini. Dari
image yang coba ditampilkan dalam percakapan-percakapan pembuka perkenalan, kemudian berlanjut lewat
gesture dan gaya bicara ketika sudah berlanjut ke tingkat kopdar, semua itu dapat disesuaikan dengan keinginan kita, ingin mendapatkan kesan yang bagaimanakah dari orang yang kita tuju. Semua begitu mudah untuk dibuat-buat sesuai dengan kebutuhan. Tinggal diatur saja.
Namun, sangat manusiawi juga rasanya ketika ‘
keharusan’ untuk menampilkan bagian terbaik dari diri kita mulai terasa melelahkan, menjenuhkan dan membosankan ketika kita semakin menyadari bahwa
semua orang yang sedang bersama kita saat ini hanya menginginkan dan menyukai semua unsur-unsur kebaikan yang telah kita bentuk dan ciptakan atas pencitraan diri kita selama ini. Selalu ada sisi lain dalam diri manusia yang juga ingin diterima sebagai satu paket utuh dirinya yang sejati, yang tidak melulu mengenai kebaikan-kebaikan. Setiap orang memiliki sisi gelap yang tersembunyi di sisi terdalam dirinya yang tak pernah ingin diketahui oleh orang lain, siapapun itu, karena mungkin saja jika orang lain mengetahui sisi dirinya yang lain, akan terjadi penolakan atas dirinya.
Jadi, kesimpulannya apa ya, dari tulisan yang ‘
sok pintar’ ini...? Hmmm, mungkin, lebih baik sejak awal, ketika kita hendak berkenalan dengan orang lain, dengan atau tanpa motif-motif lainnya, jangan terlalu banyak menjaga
image yang berlebihan. Sebab, ketulusan sikap yang cenderung natural merupakan cerminan pribadi kita yang sesungguhnya. Biarkan saja aura diri kita terpancar sebagaimana adanya, karena setiap orang tentunya terlahir dengan dianugerahi keunikan masing-masing oleh Sang Pencipta.
Just be yourself.