TAHUN 2017 adalah tahun ayam api. Ayamnya, yasudahlah tidak
usah dibahas. Apinya itu, lho! Panas membara dan membakar. Itulah yang saya
lihat, begitu maraknya perseteruan di sosial media terkait penyelenggaraan
pilkada serentak di tahun ini, tepatnya tanggal 15 Februari 2017. Tiba-tiba semua orang bicara politik, meski sebagian besar
hanya beropini dari sudut pandang personal. Dan semua orang tiba-tiba jadi ahli
agama, terkait dugaan penistaan agama oleh salah satu Cagub yang ngga usahlah
saya sebutkan namanya di sini, tapi semua orang tahu, dan sejarah telah mencatat.
Kutipan Al-Qur’an surat Al-Kafirun ayat ke-6 pun menjadi
populer, “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”. Keyakinan pun
dicampuradukkan dengan perpolitikan, dari segi sudut pandang. Perang pendapat
pun tak terelakkan di sosial media yang begitu bebas untuk menyalurkan pendapat
dan ekspresi personal, maupun kelompok. Semua orang membela habis-habisan
pilihannya, mengagungkan, membenarkan, hingga mendewakan.
Bicara tentang pilihan... Pilihan itu pada dasarnya merupakan tanggung jawab individu, dalam hal memilih apa saja. Pilih
makanan, misalnya. Orang yang suka mengkonsumsi makanan sehat dan yang suka mengkonsumsi junk food, tentunya akan berbeda dampak terhadap sistem metabolisme tubuhnya. Pilihan gaya hidup, misalnya.
Tampil sederhana dan tampil glamour atau mengikuti trend kekinian, tentunya akan berdampak
pada life cost. Hingga untuk memilih pasangan hidup, misalnya ada 2
pilihan di hadapan, maka akan berbeda kelak kelanjutan hidupmu bersama salah satu yang
harus kamu pilih. Pada dasarnya, semua perlu pertimbangan yang matang, namun terkadang faktor eksternal juga mempengaruhi pilihan-pilihan kita. Apapun alasan yang mendasari pilihanmu, dan apa yang akan terjadi kemudian, all that matter is your self-responsibility to your own choice, not to all of people's choice which are different with yours. Karena menurut saya, pilihan itu sifatnya sangat personal.
Waktu Pilpres tahun 2014 yang lalu, misalnya. Saya memilih
Capres yang pada akhirnya tidak menang pemilu. Seiring berjalannya waktu, saya merasa
kecewa dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh presiden terpilih. Mau
bagaimana, toh dulu saya memang tidak memilih dia. Intinya, ketika yang menang
itu bukan pilihan kita, kemudian mengecewakan. Tetaplah bersyukur karena kita
memang tidak berkontribusi memberi suara untuk dia. Hal ini akan membuat kita
merasa lebih baik. It’s all about state of mind. Calm your mind, then your
heart will be safe. Kata dokter, semua penyakit bermula dari pikiran kita
sendiri. Being positive in a negative situation is not naive. It’s leadership.
This! Be a leader to yourself first.
Saya masih menyayangkan euphoria perang status di sosial
media yang berdampak merenggangkan bahkan memutus hubungan pertemanan, sampai membuat sebagian orang mengeleminasi “daftar pertemanan” atau
friendlist mereka. Demokrasi dan kebebasan berpendapat yang kebablasan pada akhirnya membuat suhu politik di negeri ini menjadi panas. Pertemanan yang sifatnya personal pun terkena dampak idealisme dan fanatisme segelintir orang/kelompok yang begitu mendewakan pilihannya. Namun di sisi lain, ada pelajaran yang saya dapat, bahwa semakin
bertambah usia, maka kita akan semakin mengenali teman-teman kita yang sejati. Pada akhirnya semua
kembali kepada diri kita masing-masing, TEMAN seperti apa yang kita
butuhkan untuk berada di sekeliling kita, melewati tahapan-tahapan kehidupan selanjutnya?
~ Wil Twilite ~